Minggu, 21 April 2013

Bahaya Balita Hobi Isap Jempol

Ghiboo.com - Anak Anda sering mengisap jempol. Apakah ini akan memengaruhi bentuk giginya kelak?

Kebiasaan bayi memasukkan jari dan mengisap tangan atau jempol dimulai saat ia berusia dua bulan. Di usia tiga bulan, selain mengisap jari, kadang-kadang ia juga menggigiti tangannya.

Memang, seharusnya kebiasaan mengisap jempol tidak dibiarkan sebab bisa memengaruhi bentuk rahang Si Kecil.

Selain itu dari sisi psikologi, kebiasaan mengisap jempol juga bisa membuat Si Kecil tumbuh menjadi anak yang tak percaya diri.

Dr. Johnny Nurman dari Brawijaya Clinic ANZ Square-Podium Thamrin Nine, Jakarta menyarankan orangtua untuk memberikan Si Kecil teether berukuran sedang dan terbuat dari bahan yang aman.

Atau, bisa juga membuat teether dari handuk kecil yang diikat ujungnya atau diisi es batu seperti saran American Academy of Pediatrics (AAP). (ins)
(Mother and Baby Indonesia edisi November 2012)

Selasa, 09 April 2013

Volunter KAPHA Kunjungi Rumah Alm. Mardiana

Banda Aceh, Sejumlah Volunteer Koalisi Advokasi dan Pemantauan Hak Anak (KAPHA) Aceh melakukan kunjungan ke rumah korban kekerasan dan pembunuhan terhadap Anak Amh. Mardiana (6). Sekitar jam 9.00 WIB Volunteer tiba dirumah Almh. Mardiana dan di sambut oleh Ayah Korban Mawardi serta Apatur Gampoeng dengan senang hati.

Selasa, 9 April 2013.

Dalam kunjungan tersebut turut hadir Volunteer KAPHA Aceh Taufik Riswan, Sudarliadi, Muhammad Munzir, Teuku Ishak, Shinta Devi dan Imam Abdillah Lukman (salah satu mahasiwa Psikologi UNMUHA). Sekretaris Jenderal KAPHA Taufik Riswan mengatakan bahwa kunjungan tersebut untuk membuat rencana dalam menyusun Langkah-langkah Advokasi tentang proses Hukuman terhadap Pelaku kekerasan dan pembunuhan Hasbi dan Amirruddin.

“ Kunjungan ini kami lakukan dalam rangka menyusun langkah-langkah Advokasi dengan Aparatur Gampoeng serta keluarga Korban dalam mengawasi proses hukum yang di berikan kepada Pelaku Hasbi (17) dan Amiruddin (28) karena Kasus ini adalah Kejahatan Kemanusian dan kami juga akan mencari bantuan dengan kawan-kawan Lembaga Anak untuk berpartisipasi dalam proses pengadilan nanti “.

Pada saat silaturrahmi tersebut berlangsung Tuha Peut Gampoeng Peulanggahan mengungkapkan Rasa kekecewaan terhadap Pihak Kepolisian “ Kami Aparatul Gampoeng Peulanggahan sangat kecewa atas sikap kepolisian karena pada saat pelaksanaan rekonstruksi (reka ulang) kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Diana yang dilakukan di Poresta Kota Banda Aceh tidak di beritahukan kepada kami .”

Dalam hal yang sama Bapak Geuchik Gampoeng Peulanggahan juga mengecam Pelaku untuk di hukum dengan Hukuman Mati “ Kami berharap Pelaku kasus ini di hukum mati karena tidak maka kami yakin pelaku tersebut akan mengulanginya lagi “.

Senin, 08 April 2013

Bukan Bendera, tapi Diana

Oleh Asmaul Husna

ACEH kembali bergema. Belakangan ini kita disuguhkan oleh dua peristiwa yang sangat kontradiksi, bendera dan Diana. Beberapa waktu lalu, DPRA telah mengesahkan tiga rancangan qanun (raqan) menjadi qanun, satu di antaranya adalah Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang baru (Serambi, 23/3/2013). Rancangan qanun yang sempat tertunda sejak tiga tahun lalu itu, kini telah menjadi sebuah produk hukum yang sah di Aceh.

Setelah bendera ada Diana, seorang gadis kecil berusia enam tahun harus meregang nyawa akibat ulah biadab dua manusia yang membunuhnya setelah terlebih dulu merenggut keperawanannya. Salah satu pelakunya adalah Hasbi (17) yang tak lain adalah pamannya sendiri. Jenazah korban ditemukan Rabu (27/3/2013) pagi, di semak-semak dekat tanggul kawasan Peulanggahan (Serambi, 28/3/2013). Tidak berselang lama, Agus Mawar (31) sang ibunda Diana juga menyusul kepergian putri semata wayangnya yang sebelumnya juga sakit berat (Serambi, 2/4/2013).

 Realitas kontras
Kita sedang disuguhkan oleh dua realitas kontras, euforia bendera dan tangis kepergian Diana. Bendera, sejak disahkan oleh DPRA sebagai identitas baru Aceh, kini telah menyita perhatian banyak masyarakat dan menarik massa untuk ber-euforia atas pengesahan tersebut. Euforia kegembiraan pun bergema sampai ke seluruh pelosok tanah Aceh. Jalan-jalan dipenuhi dengan aksi konvoi mengibarkan bendera diiringi dengan suara pekikan kegembiraan. Tidak hanya Aceh, bahkan Jakarta pun disibukkan dengan persoalan sehelai kain berwarna merah yang bercorak benda langit sebagai lambang sebuah kebanggaan.

Namun di sudut lain, kasus Diana begitu menyayat kalbu. Di tengah euforia massa yang histeria, gadis kecil ini harus menjadi korban kebiadaban dua manusia yang tidak mempunyai jiwa kemanusiaan. Saya tengah membayangkan bagaimana Diana, seorang gadis kecil yang lucu dan lugu itu menikmati bermain dengan kawan sebayanya. Bagaimana seorang Diana menjadi tumpuan harapan orang tuanya. Namun, masa kanak-kanak yang seharusnya diisi dengan kegembiraan itu terpaksa pupus karena direnggut paksa oleh orang yang bahkan dianggap bisa melindunginya. Nasib hidupnya pun harus berakhir mengenaskan di tangan sang paman.

Di Aceh, kasus serupa ini bukanlah pertama kalinya terjadi. Menurut lembaga Gerakan Perempuan Aceh (GPA), telah terjadi 66 kasus kekerasan seksual terhadap anak berusia 2-18 tahun di Aceh. Tidak hanya itu, sebanyak 994 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Aceh juga telah terjadi sepanjang 2011-2012 lau. Total kasus keduanya yang berjumlah 1.060 kasus, ini pun kemudian semakin menambah daftar derita perempuan.

Tidak hanya itu, berdasarkan data statistik dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) menyatakan bahwa telah menerima 673 pengaduan eksploitasi seksual komersial terhadap anak sepanjang 2012. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 480 kasus. Sedangkan untuk kasus perkosaan tercatat pada periode 1998-2010 terjadi 4.845 di Indonesia. Bahkan lebih jauh lagi, Indonesian Police Watch (IPW) mencatat, sudah ada 25 kasus perkosaan yang terjadi sepanjang Januari 2013. Hanya dalam rentan waktu satu bulan, jumlah korban pun berjatuhan sebanyak 29 orang dan jumlah pelaku mencapai 45 orang.

Kenyataan ini pun kemudian memaksa kita untuk melihat bahwa tak ada tanah yang aman untuk ditinggali oleh makhluk Tuhan bernama perempuan, termasuk Aceh yang disebut-sebut sebagai negeri bersyariat. Tidak hanya itu, bahkan rasa aman pun menjadi sulit dan mahal didapatkan walau dari kerabat keluarga sekalipun yang seharusnya menjadi tempat yang aman untuk kita mendapat perlindungan.

Padahal undang-undang tentang perlindungan anak telah termaktub dalam Pasal 81 ayat (2) UU No.23 Tahun 2002. Ancaman hukumannya juga tidak main-main, yaitu berupa penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun dan denda minimal 60 juta dan maksimal 300 juta rupiah. Namun sayang, undang-undang ini pun belum mampu memayungi anak ataupun perempuan untuk hidup dalam rasa aman.

 Lindungi perempuan

Berkaca pada kenyataan di atas, mungkin kita akan melupakan sejenak euforia massa akan bendera itu, jika Diana adalah saudara kita, sang adik, ataupun anak kita sendiri. Bagaimana perasaan Anda jika Diana adalah sang buah hati Anda sendiri, namun menjadi korban kebiadaban manusia yang bahkan telah hilang sisi kemanusiaannya? Apa yang akan Anda lakukan jika buah hati yang menjadi tumpuan harapan Anda itu direnggut kehidupannya, bahkan dengan cara yang tidak Tuhan izinkan?

Membayangkannya saja saya tidak sanggup, apalagi harus berada pada posisi Diana ataupun keluarga yang ditinggalkannya. Lalu mengapa kita tidak belajar berempati? Bahkan, histeria massa menyambut pengesahan bendera lebih terdengar menggelegar daripada kiriman doa untuk Diana. Upaya-upaya untuk membela kaum yang lemah seperti perlindungan bagi anak dan perempuan pun harus tenggelam dalam isu-isu politik yang selalu hangat untuk diperbincangkan.

Dalam hal ini, kehadiran Komnas perlindungan anak, perlindungan perempuan, ataupun sejenisnya, menjadi sangat diharapkan. Karena keberadaan lembaga sejenis ini, tentunya bukan hanya sekadar pelengkap penderita semata dan memberi “stempel perlindungan”, tapi  lebih jauh dari itu. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada lagi `Diana-Diana lain’ yang harus menanggung derita hingga meregang nyawa karena ulah manusia yang membinatanginya. Peristiwa ini tentu saja tidak cukup hanya disikapi dengan kemarahan semata, karena kejahatan ini terlalu ‘sempurna’ untuk disikapi secara sederhana.

Mungkin kita memang telah gagal menyelamatkan satu jiwa, tapi kita masih punya kesempatan untuk melindungi jiwa-jiwa yang lain. Jangan pernah untuk kembali menutup mata dan melihat bahwa di luar sana, betapa banyak Diana-Diana lain yang kini sedang meraung ketakutan. Mereka memang masih hidup, tapi seolah mati. Negeri ini seolah menjadi neraka bagi perempuan dan membakar semua jiwa-jiwa kemanusiaan.

Kami para ‘Diana’, kini pun menjadi bingung harus meminta perlindungan pada siapa lagi, karena ternyata butir-butir hukum belum mampu melindungi perempuan seutuhnya. Dalam hal ini, bukan kami perempuan tidak mau menjaga diri, tapi kami menjadi tidak berdaya ketika nafsu-nafsu syahwat kaum Adam menyerang perempuan secara brutal. Melihat kenaasan nasib yang menimpa Diana, kini kaum perempuan pun semakin terkungkung dalam ketakutan.

Kasus Diana, hanyalah sepotong cerita pilu negeri ini yang menyeruak ke permukaan. Karena masih banyak potongan-potongan lainnya yang harus tenggelam dalam isu-isu lain yang lebih ‘panas’, ataupun sengaja ‘dipanaskan’. Tanah ini beserta penghuninya pun terpasung dalam kemunafikan. Kalau bukan pada keluarga, masyarakat, dan pemerintah, kemana lagi perempuan harus meminta perlindungan? Maafkan kami Diana!


Asmaul Husna, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhikseumawe, dan peserta Sekolah Demokrasi Aceh Utara (SDAU) angkatan III. Email: hasmaul64@yahoo.com
Editor : hasyim

Aceh 'Kagura'

Oleh Zahrul Fadhi Johan

KAGURA, kata ini sangat tepat untuk menggambarkan bagaimana kondisi sosial-politik Aceh hari ini. Lebih kurang 30 tahun lamanya Aceh bertikai dengan Pusat. Pada 15 Agustus 2005 menjadi hari yang sakral terjadinya perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia (RI), rakyat telah menaruh harapan besar atas perdamaian tersebut.

Rasanya konflik telah menjadikan rakyat Aceh patah arang, jenuh atas penderitaan dan kesengsaraan. Di sebalik itu, hanya sebagian kecil atau kelompok-kelompok tertentu yang merasa diuntungkan oleh kondisi tersebut. Setelah perdamaian, masyarakat merasa lega dan leluasa untuk melakukan segala aktifitas keseharian, tetapi pil pahit dan rasa traumatik masih membekas dalam diri masyarakat.

Setelah damai, Aceh ibarat bayi yang baru lahir dari rahim ibunya. Masyarakat Serambi Mekkah kembali merekonstruksi tatanan sosial, struktur budaya yang telah pudar, perekonomian carut-marut, pendidikan tertinggal jauh dengan daerah lain. Padahal, Aceh pada era 1496-1903 dikenal sebagai ladang ilmu pengetahuan, memiliki pemerintahan yang teratur dan sistematik, menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain, mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer untuk menentang imperialisme bangsa Eropa, Aceh juga dijadikan sebagai kiblat ilmu agama di Nusantara.

Delapan tahunan perdamaian sudah berlalu, sekarang masyarakat mulai merasa getar-getir dengan kondisi suhu politik yang tidak stabil. Muncul beberapa kelompok yang merasa bahwa Aceh adalah milik mereka, sehingga sumbu-sumbu konflik mulai dihidupkan kembali.

Senin, 2 April 2013 seribuan masyarakat Aceh dari berbagai kabupaten/kota datang ke Banda Aceh untuk melakukan konvoi mengelilingi kota Banda Aceh dan melakukan aksi pengibaran Bendera Bulan Bintang di Gedung DPRA. Massa juga menuntut kepada Pemerintah Pusat melalui Mendagri untuk mensahkan Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang telah ditandatangani oleh Gubernur Aceh pada 25 Maret 2013.

Besoknya, sebagian kecil masyarakat di Aceh Barat membagikan 1.000 lembar Bendera Merah Putih, aksi tersebut menandakan bahwa sikap resistensi terhadap bendera dan lambang yang telah disahkan dalam Qanun No.3 Tahun 2013 oleh Gubernur dengan alasan bendera dan lambang tersebut adalah milik GAM dan tidak merepresentasikan masyarakat Aceh secara menyeluruh.

Resistensi lain dilakukan oleh sebagian masyarakat yang mengatasnamakan perwakilan dari masyarakat dataran tinggi Gayo pada Kamis 4 April 2013, mereka melakukan aksi pembakaran bendera Bulan Bintang dan menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil mengusung Bendera Merah Putih di kota Takengon dan Benar Meriah. Mereka juga menuntut apabila Qanun Bendera dan Lambang Aceh disahkan seperti lambang GAM oleh Pemerintah Pusat maka mereka akan menuntut pemisahan diri dari provinsi Aceh.

Relasi obyektif
Bendera dan lambang merupakan arena produksi dan sirkulasi barang-barang simbolis yang didefinisikan oleh Pierre Bourdieu (2010:141) sebagai sistem relasi obyektif sebuah instansi secara fungsional berperan dalam pembagian produksi, reproduksi dan penyebaran barang-barang simbolis.

Struktur arena itu muncul akibat oposisi antara arena produksi terbatas sebagai sistem yang memproduksikan barang-barang kultural yang secara obyektif ditujukan kepada publik produsen barang kultural skala besar, khususnya didasarkan pada sebuah pandangan produsennya bahwa produksi barang-barang kultural bisa dinikmati oleh publik luas yang bertujuan untuk dapat memperoleh pengakuan dari kelompok sesama dan para pesaing.

Dalam hal ini, Bendera dan Lambang Aceh adalah sebuah simbol penunjukkan jati diri keacehan untuk mendapatkan legitimasi dari pihak lain; Bahwa, Aceh pernah menjadi sebuah negara berdaulat sebelum Tengku Daud Beureueh menyatakan Aceh bergabung dengan Indonesia saat proklamasi kemerdekaan 1945, dan pernah mengalami masa kejayaan pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Bendera dan Lambang juga dianggap sebagai pemersatu semua etnis yang ada di Aceh. Jika melihat kondisi Aceh hari ini, tanda tanya besar timbul di benak kita. Apa makna sebuah simbol jika terjadi perpecahan di Aceh? Bukankah satu tujuan dari perjuangan GAM saat itu adalah ingin menjadikan Aceh sebagai negara berdaulat tanpa adanya perpecahan?

Jika perjuangan yang menghabiskan waktu selama 30 tahun hanya sekedar melegalkan sebuah simbol dan lambang untuk euforia semata, berarti Aceh tidak beda dengan provinsi lain di Indonesia. Seperti halnya Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang juga memiliki Bendera Kesultanan. Begitu pula daerah Ternate yang memiliki lebih dari satu bendera, yaitu Bendera Kesultanan Ternate dan Bendera Rakyat Ternate. Kedua daerah tersebut tidak pernah melakukan perlawanan untuk menuntut merdeka dari Pemerintah Pusat, tetapi Yogyakarta dan Ternate memiliki simbol kebanggaan sendiri tanpa ada pro-kontra rakyatnya.

Alangkah indahnya kalau hari ini rakyat Aceh dapat merasakan kemerdekaan setelah apa yang telah diperjuangkan oleh para pendahulu, yang telah mengorbankan nyawa dan harta mereka demi mewujudkan Aceh yang bermartabat di mata Pusat. Merdeka bukan hanya berarti pemisahan diri dari sebuah negara untuk membentuk negara berdaulat.

Kemerdekaan bisa dimaknai sebagai tindakan kebebasan berfikir, kebebasan berkehendak tanpa ada kotomi khusus dari kelompok-kelompok tertentu yang hanya mementingkan kepentingan kelompoknya dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Apa makna sebuah perjuangan jika pada ujungnya rakyat tidak mendapatkan kesejahteraan?

 Hilangkan egoisme
Jika hari ini kemerdekaan yang seperti itu tidak dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Aceh. Maka sekaranglah saatnya rakyat kembali bersatu untuk melawan segala kezaliman yang mereka lakukan terhadap rakyat. Rakyat bosan dengan segala penindasan dan intimidasi dari berbagai lini, berikanlah ruang kepada rakyat untuk bisa menjalankan segala aktivitas secara normal.

Marilah sekarang sama-sama kita menghilangkan sikap egoisme dan sinisme antara satu sama lain. Aceh adalah milik seluruh rakyat yang bermukim di tanah Serambi Mekkah dari barat, timur, utara, selatan, tengah, dan tenggara, karna Aceh bukan hanya milik segelintir orang. Kalaupun ada kebijakan-kebijakan yang dapat memicu konflik untuk memecah belah bangsa Aceh dan ada pihak-pihak lain yang coba mengusik perdamaian di Aceh, sebaiknya pemerintah sesegera mungkin meredamnya agar semua kepentingan terakomodir dengan baik.

Untuk mengembalikan kedaulatan dan kejayaan Aceh, seperti halnya Hong Kong saat ini yang secara konstitusi masih di bawah kekuasaan Republik Rakyat Cina, tetapi negara tersebut dapat melakukan hubungan diplomatik dan bilateral dengan negara lain. Seharusnya pemerintah Aceh dapat mengambil contoh pola dan sistem yang dilakukan oleh Hong Kong.

Permerintah juga harus melakukan pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) lokal sesuai dengan kebutuhan pasar untuk dapat mengembangkan sumber daya alam (SDA) yang ada di bumi Iskandar Muda ini. Pemberdayaan yang dilakukan pastinya tanpa adanya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di dalamnya agar rakyat bisa makmur dan sejahtera.

* Zahrul Fadhi Johan, Mahasiswa Ilmu Sastra Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dan Peneliti di SCAD Independen (Study Center of Acehnese Democracy). Email: fadie_aceh@yahoo.com

Editor : bakri

Aceh; Antara Bintang Bulan dan Merah Putih (ABBMP)

Oleh Hasanuddin Yusuf Adan

SEPERTI sudah menjadi nasib dikandung badan bagi wilayah Aceh yang berposisi di sebelah barat Pulau Sumatera. Kenapa tidak, habis satu masalah timbul masalah lain, habis satu perkara muncul perkara lain, begitulah nasib Aceh yang tidak pernah luput dari berbagai perkara dan masalah. Kali ini Aceh dihebohkan oleh penetapan Qanun No.3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh oleh DPRA. Pengesahan qanun tersebut selain ditolak Jakarta juga ditolak oleh sebagian masyarakat Aceh di kawasan Gayo dan Aceh Tenggara.

Fenomena tersebut di satu sisi tidak menjadi persoalan luarbiasa lagi bagi bangsa Aceh karena sudah pernah bergelimang dengan persoalan yang sangat luar biasa di masa-masa lampau. Terlepas dari itu semua, bangsa Aceh harus hidup dan bertindak arif dalam menyahuti berbagai issu yang menyorot Aceh dan bangsanya sehingga pengalaman ketabrak sesama sendiri seperti masa-masa lalu tidak terulang lagi.

Kita sudah kenyang berperang sesama sendiri mulai dari kasus Cumbok, DI/TII, GAM dan lainnya yang sudah sangat banyak merugikan Aceh dan bangsanya. Lalu apa yang harus kita pertentangkan lagi kali ini sehingga kita harus bergaduh sesama sendiri, ingatlah kita bahwa perjalanan hidup ini selalu memihak kepada siapa yang rajin berusaha dan rajin bekerja.

Nanti kalau masa berganti, generasi bertukar, maka momentum pun akan berubah lagi sesuai dengan perputaran zaman dan masa. Untuk itu semua bangsa Aceh harus memperkuat persahabatan dan persaudaraan dalam konteks Aceh tanpa memilah, tanpa memisah dan tanpa memberi dukungan kepada pihak lain yang bukan Aceh. Semua itu harus dilakukan oleh generasi sekarang untuk memperkokoh eksistensi generasi mendatang.

Bendera sendiri
Menyimak esensi dan eksistensi Aceh dari masa ke masa sebenarnya Aceh pernah memiliki bendera sendiri sebagai Bendera Kerajaan Aceh Darussalam yang berlambang Cap Sikureueng (Cap Sembilan) dan bendera warna merah yang berlambang pedang (peudeueng) Aceh sehingga wujud syair: di Aceh na alam peudeueng, cap sikureueng lam jaroe raja, dari Aceh sampé u Pahang, hana soe teuntang Iskandar Muda (di Aceh ada alam pedang, cap sembilan digenggam raja, dari Aceh sampi ke Pahang, tiada yang tentang Iskandar Muda).

Kerajaan Aceh sendiri sebelum Aceh menjadi bagian Indonesia terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil seperti; Kerajaan Meureuhom Daya, Kerajaan Aceh, Kerajaan Pedir, Kerajaan Samudera, Kerajaan Pase, Kerajaan Beunua, dan Kerajaan Linge. Semua itu kemudian dipersatukan sultan Ali Mughayyatsyah menjadi Kerajaan Aceh Darussalam (KAD). Dari sinilah terbentuk sebuah wilayah yang kemudian terkenal dengan nama negara Aceh yang ditakuti oleh lawan dan disenangi/dikagumi oleh kawan.

Terkait dengan Bendera dan Lambang Aceh hari ini hasil penetapan Qanun No.3 Tahun 2013, merupakan sebuah hasil produk hukum yang punya rentetan dengan perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kemudian terjadi perdamaian dengan Indonesia 15 Agustus 2005 dengan dokumennya MoU Helsinki, kemudian lahir UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dari UUPA tersebutlah turun qanun-qanun yang diperlukan Aceh selaras dengan latar belakang wujudnya UUPA tersebut.

Diakui atau tidak, hasil Pemilu 2009 dan Pemilukada Aceh 2011 dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya telah melahirkan 69 anggota DPRA plus seorang gubernur dan seorang wakil gubernur Aceh. Secara hukum Indonesia mereka telah mendapatkan wewenang untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab legislatif dan eksekutif untuk masa lima tahun terhitung dari masa pengesahannya. Mereka menjadi representasinya lima juta rakyat Aceh hari ini untuk mengurus wilayah yang sering dirundung malang ini. Oleh karena itu, di satu sisi tidak ada yang berlebihan apabila DPRA menetapkan Qanun No.3 Tahun 2013 sebagai Qanun Bendera dan Lambang Aceh dengan fisik benderanya mirip bendera GAM dan lambangnya mirip lambang GAM.

Kalau kita menggunakan logika, ketika GAM sudah berdamai dengan RI dan mengakui negara Indonesia berarti GAM sudah tidak ada lagi, yang berarti semua atribut GAM pun ikut ranab bersamanya. Kalau atribut GAM sudah ranab, maka yang disahkan DPRA tersebut adalah bendera dan lambang Aceh, bukan lagi bendera dan lambang GAM. Lagi pula para petinggi RI sangat amat sering mengungkapkan: Sekarang ini Aceh boleh meminta apa saja dari Indonesia akan diberikan, kecuali satu, yaitu; merdeka.

Sekarang Aceh telah memenuhi dan menyambuti ajakan para petinggi Indonesia tersebut, maka apa lagi yang harus Indonesia ribut dan takutkan dari Aceh? Bukankah Indonesia sudah berpengalaman ketika siaga berunding dengan GAM dulu juga banyak suara yang menyalahkan Indonesia. Toh, sekarang kan Indonesia juga yang beruntung setelah berdamai dengan GAM? Bersikap arif dan bijaklah wahai penguasa Indonesia dan jangan bersikap hipokrit.

 Perbedaan mendasar
Terdapat perbedaan mendasar antara sebuah perjuangan ideologi dengan perjuangan materi, perjuangan ideologi biasanya bertahan lama sehingga ia mendapatkan hasil kemenangan atau kehancuran. Sementara perjuangan materi sering berakhir ketika sudah mendapatkan keuntungan sesaat atau sudah capek tidak bergairah lagi berjuang. Lalu kalau kita pasang miniatur tersebut kepada pejuang bulan bintang dengan pejuang merah putih, yang mana masuk perjuangan ideologi dan yang mana pula perjuangan materi?

Dalam suasana tolak tarik bendera Aceh yang berlambang bulan bintang hari ini hadir pula pengambil kesempatan lainnya yang mengangkat isu Aceh Leuser Antara (ALA) (Serambi, 2/4/2013). Mereka berupaya mewacanakan kembali isu ALA yang secara kasat mata dapat disimpulkan untuk menempati posisi-posisi strategis ketika propinsi ALA tersebut lahir nantinya. Sikap dan prilaku semacam itu termasuk kedalam perjuangan materi yang diiming-iming oleh jabatan, kedudukan, mata uang dan seumpamanya.

Sesungguhnya, kalau mau menngedepankan alasan kemajuan wilayah, maka bukan Aceh yang harus dimekarkan, tetapi Indonesia yang harus dibelah-belah dan dimekarkan menjadi beberapa negara. Karena sumber kemunduran dan ketertinggalan daerah ada pada Indonesia bukan pada Aceh. Bayangkan saja sudah lebih setengah abad Indonesia wujud di permukaan bumi ini tetapi bangsa Indonesia masih morat-marit dan tidak bermarwah di mata bangsa lain di dunia.

Negara yang mempunyai hasil alam melimpah tetapi rakyatnya hidup centang-perenang, hasil alam Aceh yang melimpah ruah sebelum reformasi semuanya diangkut ke Jakarta, tidak ada yang tinggal untuk membangun Aceh, kayu dalam hutan dirambah oleh kakitangan Indonesia dan dijual keluar negeri. Kalau begitu kenyataan yang sangat amat nyata, maka mengapa Aceh yang harus dimekarkan; Bukankah punca segala masalah ada di Jakarta?

Yakinlah oleh kita semua bahwa dunia ini selalu memberi peluang dan kesempatan kepada ie raya (air bah). Ketika ie raya datang tiada seorang pun yang mampu bertahan, ketika kita tidak mampu bertahan maka janganlah berupaya untuk bertahan, nanti akan merusakkan badan. Solusinya, bersabarlah sehingga ia berakhir dan datang air bah berikutnya; Siapa tahu dalam air bah selanjutnya kita menjadi pengendali air bah itu. Orang Aceh sering berucap: Bak ie raya bek tatheuen ampeh, bak ie tireh bek tatheun bubee; Bek tameungon deungon sipaleh, hareuta teuh abeh geutanyoe malee.

* Hasanuddin Yusuf Adan, Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh. Email: diadanna@yahoo.com

Editor : bakri

Selasa, 02 April 2013

stories of saree



pada 28 Maret 2013 tepatnya hari kamis telah terjadi suatu pengalaman yang sangat berkesan bagi saya, dimana hari itu menjadi pengalaman pertama saya menemani Sekjen KAPHA, yang akrap dipangil dengan pangilan bang Taufik untuk memfaselitatori sebuah kegiatan outbound di kaki gunung selawah agam, gampong saree. pagi itu waktu menujukan jam 10 : 00 WIB saya, dan bang taufik menunggu jemputan, selang beberepa menit kemudian tampak dari kejahuan sebuah mobil avanza datang untuk menjemput kami.
Dalam perjalanan kami berbicara banyak, saling sering mengenai pangalaman masing-masing, dan saling diskusi tentatang banyak hal. Perjalanan kesaree memakan waktu sekitar ½ jam dari Banda Aceh menuju seree. Sesampainya disana kami dikejutkan dengan bertapa indahnya alam ciptaan allah yang membentang luas, dan sekeliling kami penuh dengan keindahan, dan kami melangkahkan kaki kami pada sebuah rumah yang ada ditengah perkebunan yang indah yang perkebunan tersebut milik al-nisak center sebuah organisasi yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan. Kami disana diterima dengan penuh kehangatan. Saya masih sangat teringgat makanan yang pertama kali kami makan disana adalah ubi rebus yang rasanya sangat nikmat, dan sangat berbeda jauh dengan ubi yang ada di daerah perkotaan, saking enaknya bang teufik mengatakan” makan mam nih namanya makanan Kyai Ahmad Dahlan”, dan tawa renyah pun dendenggar.
Kegiatan dimulain pukul 11:19 yang dibuka oleh pimpinan dari Al-Nissa Center, acara dibuka dengan lancer dan tertip, setelah beberapa sesi acara sudah dilalui dengan lancer. Beru masuk acara utama pengekuhan CBO (comuniti bess organisasien), yang difalitasi oleh bang Taufik.
Pada awal pembukaan pengukuhan CBO bang Taufik sedikit menyampaikan hasil rapat sebelumnya dengan Al-Anisa Centre, dan sudah disepakati yaitu :
1.      Membangun visi & misi CBO (komuniti bess organisasien).
2.      Membangun tim kerja, dan solit.  
Setelah menjelaskan hal-hal diatas bang Taufik langsung masuk pada materi kegiatan denggan menjelaskan alur sebagai berikut :
Alur
·         Orentasi
·         Analisa belajar
·         Perumusan fisi & misi
·         Recreasional Aktivitiy (outbond)
·         Refeksi/penutupan
Kegiatan ini diikuti oleh 13 perserta dari berbagai lapisan masyarakat berikut nama-nama perserta outbond yang diadakan oleh Al-Anisa Center.
1.      Raudah
2.      Mardianti
3.      Fitri
4.      Marni
5.      Eka
6.      Hera
7.      Susi
8.      Nursyidah
9.     Wirda
1.     Uswah
1.     Dedek
1.     Yanti
1.    Tumini
Melihat perseta sepertinya sangat kurang bersemangat bang Taufik memiliki inisiatif untuk mengadakan pencairan suasana diluar ruangan. Para perserta diminta untuk keluar ruangan. Sesampainya diluar bang Taufik memberikan 3 buah lagu yang dituliskan oleh salah seorang perserta nama- nama lagunya yaitu :
1.      Selamat pagi
2.      Pukul yamuk
3.      Duduk senang
Ketika menyayikan lagu ini terlihat senyum lebar para perserta, dan dalam permainan ini perserta juga diminta untuk dapat mengenal satu sama lain, hobi, kesukaan masing-masing dari perserta, dan juga diminta untuk menyampaikan apa saja kekurangan, dan kelebihan dalam kelompok masing-masing. Setelah pencairan suasana dianggap cukup, bang Taufik mengistuksikan kepada para perserata untuk dapat kembali dalam ruangan untuk dapat menlanjutkan kegiatan yang di fokuskan didalam ruangan. Ketika didalam ruangan setiap perserta dibagikan kertas berwarna, dan plano. Para perserta diminta untuk dapat mengambar wajahnya masing-masing, dan menuliskan pada plano sekarang,kini,masa depan. Yang bertujuan dalam penulisan tersebut adalah membuat perserta dapat memasang target dalam hidupnya, dan juga dapat memahami perkembangan dirinya. Gambar pera perserta kemudian ditempel pada dinding, dan perserta diminta menjelaskan setiap apa yang sudah mereka tulis, dan gambar.
Pukul menujukan 13 : 00 waktunya solat,dan makan siang untuk seluruh perserta,panitian. Ketika makan siang itu semakin mempereret keakraban diantara kami. Setelah makan siang dan solat selesai dilaksanakan. Masuklah pada agenda outbond ketika itu waktu menunjukan pukul 14 : 30, perserta diminta untuk dapat bersiap-siap. Setelah semunya siap. Kaki kami mulai mengginjakan langkah pertama untuk outbond di kaki gunung selawah agam. Kami terus menantapkan langkah kami dalam mendaki pegunugan tersebut.
Sesapainya di tempat yang sudah dipersiapkan, perseta menlanjutkan diskusi kembali untuk pembentukan fisi & misi, disesi ini perserta diminta untuk dapat membuat perindividu apa yang boleh dilakukan dalam organisasi, apa yang tidak boleh, mengapa kita ada, siapa kita. Perserta dengan penuh antusias menulis pendapatnya terhadap apa yang ditugaskan oleh feselitator, dan karia terbaik akan ditempel di papan materi. Setelah siap para perserta membuat apa yang sudah ditugaskan, faselitator menugaskan untuk membentuk dua kelompok yang kedua kelompok dibagikan kertas plano, dan dimintak untuk membuat hal yang sama dengan sebelumnya tapi kali ini dalam berkelompok.
Pada sela-sela kegiatan perserta diajak untuk bermain melatih kekompakan kelompok, dengan cara salah seorang dari kelompok ditutup matanya, dan harus menconteng didalam kolom yng sudah ditetapkan dengan mendenggar istuksi teman-temannya.
Pukul menujuan 14 : 00 waktunya menunaikan solet asar, dan kami pun turun dari lereng gunung untuk beristirahat. Setelah selesai istirahat legiatan dilanjutkan dengan permainan yang dinama kan menara runtuh oleh bang Taufik, cara permainan ini adalah,pemain diminta untuk mempertahankan menara yang sudah dibangun dari lemparan bola teman-temannya. Fungsi dari permainan ini adalah untuk membina kekompakan tim,dan menanamkan sikap cinta pada apa yang sudah dibangun bersama, dan juga dipertahankan bersama. Setelah permainan itu dilanjutkan dengan permainan kekompakan lainya yaitu Titik bola di tali, cara permainannya adalah dengan cara masing-masing perserta diminta memasukkan bola yang ada diatas tali, dan berusaha memasukkanya dalam gelas yang ada di bawahnya. Fungsi dari permainan ini adalah untuk melatih kekompakan, solidaritas perserta, dan juga untuk melatih diri mengendalikan ego. Permainan selanjutnya adalah bola berjalan di atas tali, perserta diminta untuk berkerja sama dengan teman satu timnya, dengan cara mengelidingkan bola, dan memasukan bola kedalam gelas, disamping menghindar dari beradu dengan bola dari tim lain. Kemudian permainan terakir pada sore itu adalah bola bergelinding, cara bermainya adalah perserta diminta untuk mengelindingkan bola diatas pipa,tidak boleh jatuh, dan harus sampai tujuan. Tujuan permainan ini adalah untuk melatih kekompakan, dan rasa tanggung jawap atas kelompoknya.
Pada malam pukul 19 : 30 waktunya evaluasi, setelah para perserta siap istirahat dan makan malam. Bang Taufik menyampaikan hasil yang sudah didapat kepada perserta, gambaran visi & misi yang didapat dari kegiatan. Tampak rauk wajah para perserta yang sudah mulai saling akrap satu sama lain.
Akhirnya dengan berat hati akhirnya kami pulang meninggalkan kaki gunung selawah agam pada pukul 21:00.


SELAMAT JALAN SAREE KAN QU INGAT MASA INDAH DENGAN MU SELAMANYA, DAN AKAN QU JADIKAN KENAGAN INI SEBAGAI KENAGAN YANG TERINDAH…….
TERIMA KASIH : KEPADA KAPHA ACEH  
 


                                                                        

PENULIS ADALAH VOLENTIR DI KOALISI ADVOKASI PEMANTAU HAK ANAK (KAPHA),DAN AKTIFIS DI IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH (IMM), DAN JUGA MAHASISWA SEMESTER 2 DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH ACEH, FALKULTAS PSIKOLOGI.
Banda Aceh,3-4-2013,01:30 WIB.