Senin, 02 Desember 2013

PENILAIAN ACUAN NORMA (PAN) DAN PENILAIAN ACUAN PATOKAN (PAP)

A. Latar Belakang Masalah
Seringkali pengembang intruksional termasuk pengajar menyusun tes setelah proses instruksional berakhir. Ia menyusunnya dalam waktu yang singkat berdasarkan isi pelajaran yang telah diajarkan dan masih segar dalam ingatannya. Keadaan yang seperti itu sangat memungkinkan tidak berfungsinya tujuan intruksional yang telah dirumuskannya. Tes yang disusunnya mungkin konsisten dengan isi pelajaran, tetapi tidak konsisten dengan perilaku yang seharusnya diukur.
Tes yang seharusnya disusun adalah tes yang mengatur tingkat pencapaian mahasiswa terhadap perilaku yang terdapat dalam tujuan intruksional. Tes tersebut mungkin tidak dapat mengukur penguasaan mahasiswa terhadap seluruh uraian pengajar dalam proses intruksional, sebab apa yang diberikan pengajar selama proses tersebut belum tentu seluruhnya relevan dengan tujuan intruksional. Isi pelajaran bukanlah kriteria untuk mengukur keberhasilan proses pelaksanaan intruksional.
Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya suatu tes hasil belajar dapat dipakai untuk menyatakan :
1.      Deretan kedudukan mahasiswa yang relatif, atau
2.      Memberikan suatu gambaran tentang tugas-tugas yang dapat atau belum dapat dilakukan oleh mahasiswa.
Hasil tes jenis pertama secara relatif menunjukkan deretan kedudukan setiap mahasiswadi antara mahasiswa lain. Metode menafsirkan hasil tes seperti ini disebut tafsiran yang mengacu kepada sebuah norma.
Hasil tes jenis kedua dinyatakan dengan jenis-jenis pengetahuan dan ketrampilan yang dapat diperlihatkan oleh setiap mahasiswa. Metode penafsiran seperti ini disebut mengacu kepada sebuah patokan.
Untuk mengetahui pencapaian hasil belajar siswa dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggunakan tes-tes dengan standar-standar tertentu sesuai dengan perkembangannya. Maka dari itu bagi seorang pendidik harus mengetahui bagaimana cara atu teknik-teknik yang baik untuk mengevaluasi anak didiknya, sejauhmana pencapaian siswa dalam menguasai materi yang disampaikan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis sampaikan, maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.      Apakah pengertian dari Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan Patokan (PAP)
2.      Persamaan dan perbedaanPAN dan PAP
3.      Kekurangan dan kelebihan PAN dan PAP

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Dalam setiap kegiatan tentunya ada tujuan yang hendak dicapai oleh pelakunya, begitu pula dengan penulisan makalah ini penulis hendak mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut:
1.      Mengetahui teknik-teknik yang tepat untuk memberikan pemeriksaan, penskoran dan penilaian.
2.      Mampu membandingkan teknik-teknik yang ada dan menyesuaikannya dengan situasi dan kondisi perkembangan dunia pendidikan.
3.      Mengetahui perbedaan, kelemahan dan kelebihan dari tiap teknik.
4.      Mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan sebelum memperolah dan meberikan nilai.

PEMBAHASAN
A. Pengertian Penilaian Acuan Norma
Ada beberapa pendapat tentang pengertian Penilaian Acuan Norma, yaitu:
1.      Acuan norma merupakan elemen pilihan yang memeberikan daftar dokumen normatif yang diacu dalam standar sehingga acuan tersebut tidak terpisahkan dalam penerapan standar. Data dokumen normatif yang diacu dalam standar yang sangat diperlukan dalam penerapan standar.
2.      Pengolahan dan pengubahan skor mentah menjadi nilai dilakukan dengan mengacu pada norma atau kelompok. Cara ini dikenal sebagai penilaian acuan norma (PAN).
3.      PAN adalah Nilai sekelompok peserta didik (siswa) dalam suatu proses pembelajaran didasarkan pada tingkat penguasaan di kelompok itu. Artinya pemberian nilai mengacu pada perolehan nilai di kelompok itu.
4.      Penilaian Acuan Norma (PAN) yaitu dengan cara membandingkan nilai seorang siswa dengan nilai kelompoknya. Jadi dalam hal ini prestasi seluruh siswa dalam kelas / kelompok dipakai sebagai dasar penilaian.

Dari beberapa pengertian ini dapat disimpulkan bahwa Penilaian Acuan Norma adalah penilaian yang dilakukan dengan mengacu pada norma kelmpok; nilai-nilai yang diperoleh siswa diperbandingkan dengan nilai-nilai siswa yang lain yang termasuk di dalam kelompok itu.
B. Penilaian Acuan Norma (PAN)
Penilaian acuan norma (PAN) merupakan pendekatan klasik, karena tampilan pencapaian hasil belajar siswa pada suatu tes dibandingkan dengan penampilan siswa lain yang mengikuti tes yang sama. Pengukuran ini digunakan sebagai metode pengukuran yang menggunakan prinsip belajar kompetitif. Menurut prinsip pengukuran norma, tes baku pencapaian diadministrasi dan penampilan baku normative dikalkulasi untuk kelompok-kelompok pengambil tes yang bervariasi. Skor yang dihasilkan siswa dalam tes yang sama dibandingkan dengan hasil populasi atau hasil keseluruhan yang telah dibakukan. Guru kelas kemudian mengikuti asas yang sama, mengukur pencapaian hasil belajar siswa, dengan tepat membandingkan terhadap siswa lain dalam tes yang sama. Seperti evaluasi empiris, guru melakukan pengukuran, mengadministrasi tes, menghitung skor, merangking skor, dari tes yang tertinggi sampai yang terendah, menentukan skor rerata menentukan simpang baku dan variannya .
Berikut ini beberapa ciri dari Penilaian Acuan Normatif :
1.      Penilaian Acuan Normatif digunakan untuk menentukan status setiap peserta didik terhadap kemampuan peserta didik lainnya. Artinya, Penilaian Acuan Normatif digunakan apabila kita ingin mengetahui kemampuan peserta didik di dalam komunitasnya seperti di kelas, sekolah, dan lain sebagainya.
2.      Penilaian Acuan Normatif menggunakan kriteria yang bersifat “relative”. Artinya, selalu berubah-ubah disesuaikan dengan kondisi dan atau kebutuhan pada waktu tersebut.
3.      Nilai hasil dari Penilaian Acuan Normatif tidak mencerminkan tingkat kemampuan dan penguasaan siswa tentang materi pengajaran yang diteskan, tetapi hanya menunjuk kedudukan peserta didik (peringkatnya) dalam komunitasnya (kelompoknya).
4.      Penilaian Acuan Normatif memiliki kecendrungan untuk menggunakan rentangan tingkat penguasaan seseorang terhadap kelompoknya, mulai dari yang sangat istimewa sampai dengan yang mengalami kesulitan yang serius.
5.      Penilaian Acuan Normatif memberikan skor yang menggambarkan penguasaan kelompok.

C. Penilaian Acuan Patokan (PAP)
Penilaian acuan patokan (PAP) biasanya disebut juga criterion evaluation merupakan pengukuran yang menggunakan acuan yang berbeda. Dalam pengukuran ini siswa dikomperasikan dengan kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam tujuan instruksional, bukan dengan penampilan siswa yang lain. Keberhasilan dalam prosedur acuan patokan tegantung pada penguasaaan materi atas kriteria yang telah dijabarkan dalam item-item pertanyaan guna mendukung tujuan instruksional .
Dengan PAP setiap individu dapat diketahui apa yang telah dan belum dikuasainya. Bimbingan individual untuk meningkatkan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran dapat dirancang, demikian pula untuk memantapkan apa yang telah dikuasainya dapat dikembangkan. Guru dan setiap peserta didik (siswa) mendapat manfaat dari adanya PAP.
Melalui PAP berkembang upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan melaksanakan tes awal (pre test) dan tes akhir (post test). Perbedaan hasil tes akhir dengan test awal merupakan petunjuk tentang kualitas proses pembelajaran.
Pembelajaran yang menuntut pencapaian kompetensi tertentu sebagaimana diharapkan dan termuat pada kurikulum saat ini, PAP merupakan cara pandang yang harus diterapkan.
PAP juga dapat digunakan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya kurang terkontrolnya penguasaan materi, terdapat siswa yang diuntungkan atau dirugikan, dan tidak dipenuhinya nilai-nilai kelompok berdistribusi normal. PAP ini menggunakan prinsip belajar tuntas (mastery learning).

D. Persamaan dan Perbedaan Penilaian Acuan Norma (PAN) dan Penilaian Acuan Patokan (PAP)
Penilaian Acuan Norma dan Penilaian Acuan Patokan mempunyai beberapa persamaan sebagai berikut:
1.      Penilaian acuan norma dan acuan patokan memerlukan adanya tujuan evaluasi spesifik sebagai penentuan fokus item yang diperlukan. Tujuan tersebut termasuk tujuan intruksional umum dan tujuan intruksional khusus
2.      Kedua pengukuran memerlukan sample yang relevan, digunakan sebagai subjek yang hendak dijadikan sasaran evaluasi. Sample yang diukur mempresentasikan populasi siwa yang hendak menjadi target akhir pengambilan keputusan.
3.      Untuk mandapatkan informasi yang diinginkan tenyang siswa, kedua pengukuran sama-sama nenerlukan item-item yang disusun dalam satu tes dengan menggunakan aturan dasar penulisan instrument.
4.      Keduanya mempersyaratkan perumusan secara spesifik perilaku yang akan diukur.
5.      Keduanya menggunakan macam tes yang sama seperti tes subjektif, tes karangan, tes penampilan atau keterampilan.
6.      Keduanya dinilai kualitasnya dari segi validitas dan reliabilitasnya.
7.      Keduanya digunakan ke dalam pendidikan walaupun untuk maksud yang berbeda.

Perbedaan kedua penilaian adalah sebagai berikut:
1.      Penilaian acuan norma biasanya mengukur sejumlah besar perilaku khusus dengan sedikit butir tes untuk setiap perilaku. Penilaian acuan patokan biasanya mengukur perilaku khusus dalam jumlah yang terbatas dengan banyak butir tes untuk setiap perilaku.
2.      Penilaian acuan norma menekankan perbedaan di antara peserta tes dari segi tingkat pencapaian belajar secara relatif. Penilaian acuan patokan menekankan penjelasan tentang apa perilaku yang dapat dan yang tidak dapat dilakukan oleh setiap peserta tes.
3.      Penilaian acuan norma lebih mementingkan butir-butir tes yang mempunyai tingkat kesulitan sedang dan biasanya membuang tes yang terlalu mudah dan terlalu sulit. Penilaian acuan patokan mementingkan butir-butir tes yang relevan dengan perilaku yang akan diukur tanpa perduli dengan tingkat kesulitannya.

4.      Penilaian acuan norma digunakan terutama untuk survey. Penilaian acuan patokan digunakan terutama untuk penguasaan.

Sabtu, 23 November 2013














foto oleh Imam Abdillah Lukman (23 November 2013) 



Banda Aceh,23 November 2013, Bandan Esekutif Mahasiswa (BEM) Psikologi

Universitas Muhammadiyah Aceh (UNMUHA) mendapat kunjugan dari Ikatan Lembaga

Psikologi Indonesia (ILMPI) Wilayah 1 Sumatra, dalam ranggka silahturahmi, dan

kunjugan kerja. "Ini adalah kunjugan kerja yang sangat baik sehingga ke depannya

dapat memperkuat silahturahmi kita" kata wakil ketua BEM Jaya Antoni Satria. Dalam

kegiatan ini juga mendiskusikan tentang kesiapan masyarakat dalam tanggap bencana

sehingga kedepannya dapat menguragi dampak bencana. Seperti yang dikatakan

modirator acara Zakiatul Munira, "bahwasanya kita sebagai mahasisiwa Psikologi

kita juga harus siap dalam menghadapai bencana tersebut". Kegiatan ini di adakan di

kampus Universitas Muhammadiyah Aceh. Dalam silahturahmi, dan kunjugan kerja juga

membahas tentang langkah-langkah untuk kesiapan tim yang akan turun kelapangan.

Minggu, 17 November 2013

mari berkaria di segudang cerita BEM Psikologi

salam teman-teman bagi teman-teman yang memiliki karia tulis, baik itu cerpen, openi dan lain-lain mari berkaria, dan mempublikkasikannya di blogger segudang cerita BEM Psikologi UNMUHA... mari mulai sukses mu dari blok ini.....
  geratisssssssssssssssssss


no kontak
imam : 085277591066
tari    : 085260328694
vina   : 085359876636    









Selasa, 12 November 2013

apa itu konsep diri ?

apa itu konsep diri adalah sebuah pertanyaan tentang siapa diri kita, apakah kita memandang kita ini sebagai seorang yang baik, ataukah kita memmandan kita ini sebagai seorang yang kurang biak.kalau kita kaji dari dafenisi konsep diri itu sendiri adalah gambaran diri menurut diri kita.
konsep diri sendiri terbagi lagi atas tiga pembagian yaitu :
  • konsep diri ideal : gambaran kita bagaimana kita seharusnya. contoh, pernahkah kita melihat kaca dan berkata, "aku seharusnya sudah dapat menyelesaikan persoalan ini. Ini kan masalah sepele." Dalam pemikiran ini terkandung makna, kita memandang diri kita mampu mengatasi permasalahan.
  • konsep diri sosial : konsep diri sosial bagaimana kita membentuk diri kita, berdasarkan pandangan sosial. contoh, kita sering di sebut-sebut dalam sosial kita sangatlah baik, dan kita membentuk diri kita shingga terbentuk seperti pandangan sosial tersebut.
  • konsep diri nyata : gambaran kita terhadap diri kita yang betul-betul nyata.
 melihat diri lebih menyeluruh, dibagi atas dua bagian negatif, dan positif. konsep diri dikatakan positif, bila kita bisa melihat kemampuan dan keterampilan diri secara seimbang. kita yakin kalau kita pasti bisa berkembang ke arah yang lebih baik. konsep diri dikatakan negatif, bila kita hanya melihat kekurangan kita saja ataupun hanya melihat kelebiha  kita saja. hal ini terjadi bila kita melihat pesimis diri kita, " tidak ah, saya pasti tidak bisa." atau malahan terlalu percaya diri, "saya kan sudah tahu, sudah pengalaman."
ada cara lain untuk memandang diri kita sendiri secara lebih menyeluruh. Dua orang ahli psikologi bernama Jo dan Harry mengambarkan sisi diri manusia terbagi menjadi empat daerah yang bila di gambarkan meyerupai jedela, sehingga pendapat mereka dikenal dengan JoHerry's Window. JoHerry's Window melihat manusia dari empat sisi.
  • Sisi pertama adalah sisi terbuka, dimana kita tau mengentahui tentang kita, dan kita orang juga mengetahuinya.
  • Sisi kedua  adalah sisi rahasia, dimana kita mengetahui, dan orang tidak mengetahuinya.
  • sisi ketiga adalah sisi dimana kita tidak mengetahui tetapi orang mengetahui.
  • sisi keempat adalah sisi buta dimana hanya tuhan lah yang mengetahua tentang kita
Hal-hal apa saja yang perlu kita kenali dari diri sendiri.
  • konsep diri
  • perasaan-perasaan
  • pengalaman traumatik/ masa sulit
  • persepsi
  • prasangka
  • nilai-nilai yang diyakini
  • gaya dan cara berkomunikasi
  • stres yang di 

Sabtu, 09 November 2013

mari ikuti trunamen futsal semahasiswa Banda Aceh, dan Aceh Besar dengan total hadiah 4.500.000, mari tunjukan keahlain tim mu dalam turnamen ini, di jamin bakalan seru deh.... :D

falkultas psikologi UNMUHA, dan BEM Psikologi UNMUHA adakan seminar nasional

Banda Aceh, Falkultas psikologi Universitas Muhammadiyah Aceh, dan BEM Psikologi UNMUHA, kembali mengadakan seminar nasional dengan tema tenik-tenik terapi untuk anak berkebutuhan khusus yang diadakan di aula Makamah syari'ah Banda Aceh, setelah beberapa bulan yang lalu mengadakan seminar bedah buku nasional yang diadakan di aula asrama haji Banda Aceh. Dalam kegiatan ini juga di undang rektor UNMUHA, dosen-dosen UNMUHA. hadir juga dalam kegiatan ini terapis, dan ketua yayasan klinik yurisi jakarta, selaku pemateri DR. Tri Gunadi, ot,s,PSI. dalam kegiatan ini para perserta terdiri dari mahasiswa Falkultas Psikologi UNUMHA, mahasiswa umum, dan umum.

Senin, 01 Juli 2013

GENSAN : SELAMAT HUT POLRI KE-67









brimob tempo dulu


















GENSAN : KEPOLISIAN DARI MASA KEMASA



1.      Kedatangan Bangsa-Bangsa Barat
Kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Nusantara abad ke-16 dapat dipandang sebagai titik menentukan dari perkembangan Sejarah Kepolisian di Indonesia, karena pada abad ke-16 terjadi perubahan di berbagai sendi kehidupan masyarakat Eropa, antara lain: bidang ekonomi – politik – sosial dan budaya.
Perubahan ini disebut “RENAISANCE”/kelahiran kembali peradaban Yunani-Romawi. Masa-masa itu lahir gerakan yang mengkaji kembali “ilmu pengetahuan”. Dari berbagai ilmu pengetahuan yang ada, mendorong pelaut-pelaut Portugis dan Spanyol serta orang-orang Eropa lainnya melakukan pelayaran mencari daerah-daerah baru.
-          Portugis
Bangsa Portugis adalah bangsa yang gigih mencari jalan ke daerah timur mencari daerah penghasil rempah-rempah, hal ini Kepulauan Indonesia (peran Polisi belum tampak).
-          Belanda
Belanda bisa melihat bahwa Nusantara/Indonesia kaya penghasil rempah-rempah, maka mendaratlah bangsa Belanda diNusantara/Indonesia dengan dukungan kapal-kapal dilengkapi persenjataan yang kuat dan mendirikan tempat-tempat berpijak tetap di Jawa.
2.      Kepolisian di Masa VOC
Tujuan VOC di Nusantara-Indonesia adalah berdagang, oleh karena berselisih dengan Inggris di Indonesia maka Gubernur Jenderal VOC “Jan Pieterszoon Coen” membentuk Kepolisian di Batavia dan sekitarnya.
3.      Zaman Hindia Belanda
Kedudukan, tugas, fungsi, organisasi, hubungan dan tata cara kerja kepolisian pada zaman Hindia Belanda tentu diabdikan untuk kepentingan pemerintah kolonial. Sampai jatuhnya Hindia Belanda, kepolisian tidak pernah sepenuhnya di bawah Departemen Dalam Negeri. Di Departemen Dalam Negeri memang berkantor "Hoofd van de Dienst der Algemene Politie" yang hanya bertugas di bidang administrasi/pembinaan, seperti kepegawaian, pendidikan SPN (Sekolah Polisi Negeri di Sukabumi), dan perlengkapan kepolisian.
Wewenang operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie dipertanggungjawabkan pada procureur generaal (jaksa agung). Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld politie (polisi lapangan) , stands politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain.
Sejalan dengan administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak diperkenankan menjabat hood agent (bintara), inspekteur van politie, dan commisaris van politie. Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi. Demikian pula dalam praktek peradilan pidana terdapat perbedaan kandgerecht dan raad van justitie.
4.      Zaman Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang 1942-1945, pemerintahan kepolisan Jepang membagi Indonesia dalam dua lingkungan kekuasaan, yaitu:
-          Sumatera, Jawa, dan Madura dikuasai oleh Angkatan Darat Jepang.
-          Indonesia bagian timur dan Kalimantan dikuasai Angkatan Laut Jepang.
Dalam masa ini banyak anggota kepolisian bangsa Indonesia menggantikan kedudukan dan kepangkatan bagi bangsa Belanda sebelumnya. Pusat kepolisian di Jakarta dinamakan keisatsu bu dan kepalanya disebut keisatsu elucho. Kepolisian untuk Jawa dan Madura juga berkedudukan di Jakarta, untuk Sumatera berkedudukan di Bukittinggi, Indonesia bagian timur berkedudukan di Makassar, dan Kalimantan berkedudukan di Banjarmasin.
Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam praktek lebih berkuasa dari kepala polisi.
Beda dengan zaman Hindia Belanda yang menganut HIR, pada akhir masa pendudukan Jepang yang berwenang menyidik hanya polisi dan polisi juga memimpin organisasi yang disebut keibodan (semacam hansip).
5.      Zaman Revolusi Fisik
Tidak lama setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer Jepang membubarkan Peta dan Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara resmi kepolisian menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka.
Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, pada tanggal 21 Agustus 1945 memproklamasikan kedudukan polisi sebagai Polisi Republik Indonesia menyusul dibentuknya Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Pada 29 September 1945 Presiden RI melantik Kepala Kepolisian RI (Kapolri) pertama Jenderal Polisi R.S. Soekanto. Adapun ikrar Polisi Istimewa tersebut berbunyi:
“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menyatakan Poelisi Istimewa sebagai Poelisi Repoeblik Indonesia.”
6.      Kepolisian Pasca Proklamasi
Setelah proklamasi, tentunya tidak mungkin mengganti peraturan perundang-undangan, karena masih diberlakukan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda, termasuk mengenai kepolisian, seperti tercantum dalam peraturan peralihan UUD 1945.
Tanggal 1 Juli 1946 dengan Ketetapan Pemerintah No. 11/SD/1946 dibentuk Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri. Semua fungsi kepolisian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Negara yang memimpin kepolisian di seluruh tanah air. Dengan demikian lahirlah Kepolisian Nasional Indonesia yang sampai hari ini diperingati sebagai Hari Bhayangkara
Hal yang menarik, saat pembentukan Kepolisian Negara tahun 1946 adalah jumlah anggota Polri sudah mencapai 31.620 personel, sedang jumlah penduduk saat itu belum mencapai 60 juta jiwa. Dengan demikian “police population ratio” waktu itu sudah 1:500. (Pada 2001, dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa, jumlah polisi hanya 170 ribu personel, atau 1:1.300)
Sebagai bangsa dan negara yang berjuang mempertahankan kemerdekaan maka Polri di samping bertugas sebagai penegak hukum juga ikut bertempur di seluruh wilayah RI. Polri menyatakan dirinya “combatant” yang tidak tunduk pada Konvensi Jenewa. Polisi Istimewa diganti menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk perjuangan bersenjata, seperti dikenal dalam pertempuran 10 November di Surabaya, di front Sumatera Utara, Sumatera Barat, penumpasan pemberontakan PKI di Madiun, dan lain-lain.
Pada masa kabinet presidential, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh presiden/wakil presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri.
Pada masa revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah mulai menata organisasi kepolisian di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP Umar Said (tanggal 22 Desember 148).
7.      Zaman RIS
Hasil Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan Keppres RIS No. 22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri.
Umur RIS hanya beberapa bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950, pada tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150, organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia. Dalam peleburan tersebut disadari adanya kepolisian negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat kepolisian maupun administratif, organisatoris.

8.      Zaman Demokrasi Parlementer
Dengan dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S. Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden.
Waktu kedudukan Polri kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri. Kemudian R.S. Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu menjadi gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.
Sampai periode ini kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang memiliki organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam Korpri, sedangkan bagi istri polisi semenjak zaman revolusi sudah membentuk organisasi yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkari tidak ikut dalam Dharma Wanita ataupun Dharma Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini memiliki ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang memenangkan kursi di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai negeri berada di bawah gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan perbaikan gaji dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana gaji Polri relatif lebih baik dibanding dengan gaji pegawai negeri lainnya (mengacu standar PBB).
Dalam periode demokrasi parlementer ini perdana menteri dan kabinet berganti rata-rata kurang satu tahun. Polri yang otonom di bawah perdana menteri membenahi organisasi dan administrasi serta membangun laboratorium forensik, membangun Polisi Perairan (memiliki kapal polisi berukuran 500 ton) dan juga membangun Polisi Udara serta mengirim ratusan perwira Polri belajar ke luar negeri, terutama ke Amerika Serikat.
9.      Zaman Demokrasi Terpimpin
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD 1945. Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.
Pada tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).
Waktu Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga berakhirlah karir Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959.
Dengan Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.
Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL, dan AU.
Dengan Keppres No. 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).
Kemudian Sebutan Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan negara. Dengan Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri ditentukan sebagai berikut:
a.       Alat Negara Penegak Hukum.
b.      Koordinator Polsus.
c.       Ikut serta dalam pertahanan.
d.      Pembinaan Kamtibmas.
e.       Kekaryaan.
f.       Sebagai alat revolusi.
Berdasarkan Keppres No. 155/1965 tanggal 6 Juli 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi Angkatan Perang dan Polri selama satu tahun di Magelang. Sementara di tahun 1964 dan 1965, pengaruh PKI bertambah besar karena politik NASAKOM Presiden Soekarno, dan PKI mulai menyusupi mempengaruhi sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan.
10.  Zaman Orde Baru
Karena pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun 1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bindang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU , dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.
Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M. Panggabean. Kemudian ternyata betapa ketatnya integrasi ini yang dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal memang bukan angkatan perang.
Pada tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969.
Pada HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1969 sebutan Panglima AD, AL, dan AU diganti menjadi Kepala Staf Angkatan. Pada kesempatan tersebut anggota AL danAU memakai tanda TNI di kerah leher, sedangkan Polri memakai tanda Pol. Maksudnya untuk menegaskan perbedaan antara Angkatan Perang dan Polisi.
11.  Zaman Reformasi
Adanya Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Reformasi telah melahirkan Inpres No. 2/1999 tanggal 1 April 1999 dalam era Presiden BJ Habibie yang memisahkan Polri dan TNI karena dirasakan memang terdapat perbedaan fungsi dan cara kerja dihadapkan dengan civil society. Untuk sementara, waktu itu, Polri masih diletakkan di bawah Menteri Pertahanan Keamanan. Akan tetapi, karena pada waktu itu Menteri dan Panglima TNI dijabat orang yang sama (Jenderal TNI Wiranto), maka praktis pemisahan tidak berjalan efektif.

Sementara peluang yang lain adalah Ketetapan MPR No. VI/2000 tanggal 18 Agustus 2000 yang menetapkan secara nyata adanya pemisahan Polri dan TNI, yang selanjutnya diikuti pula oleh Ketetapan MPR No. VII/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri secara tegas.
Sementara itu, sebelum ketetapan-ketetapan tersebut di atas digulirkan, pada HUT Bhayangkara 1 Juli 2000 dikeluarkan Keppres No. 89/2000 yang melepaskan Polri dari Dephan dan menetapkan langsung Polri di bawah presiden.
Kendati Keppres ini sering disoroti sebagai bahaya karena Kepolisian akan digunakan sewenang-wenang oleh presiden, naun sesungguhnya ia masih bisa dikontrol oleh DPR dan LKN (Lembaga Kepolisian Nasinal) yang merupakan lembaga independen.
Adapun tantangan yang dihadapi Polri dewasa ini dan ke depan, terutama adalah perubahan paradigma pemolisian yang sesuai dengan paradigma baru penegakan hukum yang lebih persuasif di negara demokratis, di mana hukum dan polisi tidaklah tampil dengan mengumbar ancaman-ancaman hukum yang represif dan kadang kala menjebak rakyat, melainkan tampil lebih simpatik, ramah, dan familier.
Memberi peluang tumbuhnya dinamika masyarakat dalam menyelesaikan konfliknya sampai pada taraf tertentu. Memberi peluang berfungsi dan kuatnya pranata-pranata sosial dalam masyarakat seperti adanya perasaan malu, perasaan bersalah, dan perasaan takut bila ia melakukan penyimpangan, sehingga mendorong warga patuh pada hukum secara alamiah

Sumber : Tempo Interaktif   : 1. Anton Tabah, Membangun Polri yang Kuat, Jakarta, 2001.
                                          2. Chaeruddin Ismail, Polisi yang Keder, Jakarta, 2001

1)      Tahun 1945 Kepolisian Negara berada dibawah departeman Dalam Negeri, berdasarkan sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945.
2)      Tahun 1946 Kepolisian Negara berada dibawah Perdana Menteri, berdasarkan Ketetapan Pemerintah Nomor : 11/SD/tanggal 01 Juli 1946.
3)      Tahun 1947 Kepolisian Negara di Militerisasi, berdasarkan Keputusan Dewan Pertahanan Negara nomor : 112 Tahun 1947.
4)      Tahun 1950 Pimpinan Kepolisian Negara diserahkan kepada Menteri Pertahanan, berdasarkan Ketetapan Perdana Menteri Nomor : 03/PM/1950. Kemudian dicabut kembali padabulan September 1950.
5)      Tahun 1954 dibentuk Panitia Negara Perancang UU Kepolisian Negara, berdasarkan KepPres Nomor : 297/1954. Kepolisian Negara ditunjuk untuk mewakili Pemerintah Indonesia dalam InterPol berdasarkan keputusan Perdana Menteri Nomor : 245/PM/1954.
6)      Tahun 1959 Kepolisian Negara menjadi Jawatan tersendiri dibawah Kementerian Kepolisian berdasarkan KepPres Nomor : 154 Tahun 1959.
7)      Tahun 1960 Kepolisian negara menjadi bagian dari ABRI, berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor : II/1960, disahkan dalam UU Pokok Kepolisian Negara Nomor : 13 Tahun 1961, Lembar Negara Nomor : 245, tambahan Lembar Negara Nomor : 289 Tahun 1961.
8)      Tahun 1962 Kepolisian Negara diberi wewenang untuk mengadakan Koordinasi dengan Departemen/Jawatan yang memiliki wewenang Polsus, berdasar KepPres nomor : 372 Tahun 1962.
9)      Tahun 1964 AKRI (Angkatan Kepolisian Republik Indonesia) sebagai bagian dari ABRI, berdasarkan KepPres Nomor : 290 Tahun 1964.
10)  Tahun 1966 AKRI sebagai bagian dari ABRI dengan Matra Kamtibmas, berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor : XXIV/1966.
11)  Tahun 1969 Sebutan AKRI diubah menjadi POLRI, berdasarkan KepPres Nomor : 052 Tahun 1969.
12)  Tahun 1970 Reorganisasi POLRI, berdasarkan Surat Keputusan MenHanKam/PangAB Nomor : A/385/VIII/1970.
13)  Tahun 2000 POLRI dipisahkan dari ABRI, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor : VI/2000. Tanggal 18 Agustus 2000