1.
Kedatangan
Bangsa-Bangsa Barat
Kedatangan
bangsa-bangsa Eropa ke Nusantara abad ke-16 dapat dipandang sebagai titik
menentukan dari perkembangan Sejarah Kepolisian di Indonesia, karena pada abad
ke-16 terjadi perubahan di berbagai sendi kehidupan masyarakat Eropa, antara
lain: bidang ekonomi – politik – sosial dan budaya.
Perubahan
ini disebut “RENAISANCE”/kelahiran kembali peradaban Yunani-Romawi. Masa-masa
itu lahir gerakan yang mengkaji kembali “ilmu pengetahuan”. Dari berbagai ilmu
pengetahuan yang ada, mendorong pelaut-pelaut Portugis dan Spanyol serta
orang-orang Eropa lainnya melakukan pelayaran mencari daerah-daerah baru.
-
Portugis
Bangsa
Portugis adalah bangsa yang gigih mencari jalan ke daerah timur mencari daerah
penghasil rempah-rempah, hal ini Kepulauan Indonesia (peran Polisi belum
tampak).
-
Belanda
Belanda
bisa melihat bahwa Nusantara/Indonesia kaya penghasil rempah-rempah, maka
mendaratlah bangsa Belanda diNusantara/Indonesia dengan dukungan kapal-kapal
dilengkapi persenjataan yang kuat dan mendirikan tempat-tempat berpijak tetap
di Jawa.
2.
Kepolisian
di Masa VOC
Tujuan
VOC di Nusantara-Indonesia adalah berdagang, oleh karena berselisih dengan
Inggris di Indonesia maka Gubernur Jenderal VOC “Jan Pieterszoon Coen”
membentuk Kepolisian di Batavia dan sekitarnya.
3.
Zaman
Hindia Belanda
Kedudukan,
tugas, fungsi, organisasi, hubungan dan tata cara kerja kepolisian pada zaman
Hindia Belanda tentu diabdikan untuk kepentingan pemerintah kolonial. Sampai
jatuhnya Hindia Belanda, kepolisian tidak pernah sepenuhnya di bawah Departemen
Dalam Negeri. Di Departemen Dalam Negeri memang berkantor "Hoofd van de
Dienst der Algemene Politie" yang hanya bertugas di bidang
administrasi/pembinaan, seperti kepegawaian, pendidikan SPN (Sekolah Polisi
Negeri di Sukabumi), dan perlengkapan kepolisian.
Wewenang
operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts
politie dipertanggungjawabkan pada procureur generaal (jaksa agung). Pada masa
Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld politie
(polisi lapangan) , stands politie (polisi kota), cultur politie (polisi
pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain.
Sejalan
dengan administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan
jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak
diperkenankan menjabat hood agent (bintara), inspekteur van politie, dan
commisaris van politie. Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan
jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi. Demikian pula
dalam praktek peradilan pidana terdapat perbedaan kandgerecht dan raad van
justitie.
4.
Zaman
Pendudukan Jepang
Pada
masa pendudukan Jepang 1942-1945, pemerintahan kepolisan Jepang membagi
Indonesia dalam dua lingkungan kekuasaan, yaitu:
-
Sumatera, Jawa, dan Madura dikuasai oleh
Angkatan Darat Jepang.
-
Indonesia bagian timur dan Kalimantan
dikuasai Angkatan Laut Jepang.
Dalam
masa ini banyak anggota kepolisian bangsa Indonesia menggantikan kedudukan dan
kepangkatan bagi bangsa Belanda sebelumnya. Pusat kepolisian di Jakarta
dinamakan keisatsu bu dan kepalanya disebut keisatsu elucho. Kepolisian untuk
Jawa dan Madura juga berkedudukan di Jakarta, untuk Sumatera berkedudukan di
Bukittinggi, Indonesia bagian timur berkedudukan di Makassar, dan Kalimantan berkedudukan
di Banjarmasin.
Tiap-tiap
kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian
bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut
sidookaan yang dalam praktek lebih berkuasa dari kepala polisi.
Beda
dengan zaman Hindia Belanda yang menganut HIR, pada akhir masa pendudukan
Jepang yang berwenang menyidik hanya polisi dan polisi juga memimpin organisasi
yang disebut keibodan (semacam hansip).
5.
Zaman
Revolusi Fisik
Tidak
lama setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer
Jepang membubarkan Peta dan Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk
waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945. Secara resmi kepolisian menjadi kepolisian Indonesia yang
merdeka.
Inspektur
Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya,
pada tanggal 21 Agustus 1945 memproklamasikan kedudukan polisi sebagai Polisi
Republik Indonesia menyusul dibentuknya Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Pada 29
September 1945 Presiden RI melantik Kepala Kepolisian RI (Kapolri) pertama
Jenderal Polisi R.S. Soekanto. Adapun ikrar Polisi Istimewa tersebut berbunyi:
“Oentoek
bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17
Agoestoes 1945, dengan ini menyatakan Poelisi Istimewa sebagai Poelisi
Repoeblik Indonesia.”
6.
Kepolisian
Pasca Proklamasi
Setelah
proklamasi, tentunya tidak mungkin mengganti peraturan perundang-undangan,
karena masih diberlakukan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda, termasuk
mengenai kepolisian, seperti tercantum dalam peraturan peralihan UUD 1945.
Tanggal
1 Juli 1946 dengan Ketetapan Pemerintah No. 11/SD/1946 dibentuk Djawatan
Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri. Semua
fungsi kepolisian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Negara yang memimpin
kepolisian di seluruh tanah air. Dengan demikian lahirlah Kepolisian Nasional
Indonesia yang sampai hari ini diperingati sebagai Hari Bhayangkara
Hal
yang menarik, saat pembentukan Kepolisian Negara tahun 1946 adalah jumlah
anggota Polri sudah mencapai 31.620 personel, sedang jumlah penduduk saat itu
belum mencapai 60 juta jiwa. Dengan demikian “police population ratio” waktu
itu sudah 1:500. (Pada 2001, dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa, jumlah
polisi hanya 170 ribu personel, atau 1:1.300)
Sebagai
bangsa dan negara yang berjuang mempertahankan kemerdekaan maka Polri di
samping bertugas sebagai penegak hukum juga ikut bertempur di seluruh wilayah
RI. Polri menyatakan dirinya “combatant” yang tidak tunduk pada Konvensi
Jenewa. Polisi Istimewa diganti menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus
untuk perjuangan bersenjata, seperti dikenal dalam pertempuran 10 November di
Surabaya, di front Sumatera Utara, Sumatera Barat, penumpasan pemberontakan PKI
di Madiun, dan lain-lain.
Pada
masa kabinet presidential, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap
Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh
presiden/wakil presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana
menteri.
Pada
masa revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah mulai menata
organisasi kepolisian di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RI
(PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera
Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP Umar Said (tanggal 22 Desember 148).
7.
Zaman
RIS
Hasil
Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia
Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian
Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI
berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan
Keppres RIS No. 22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam
kebijaksanaan politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan
perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan,
dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri.
Umur
RIS hanya beberapa bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17
Agustus 1950, pada tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150,
organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan
Kepolisian Indonesia. Dalam peleburan tersebut disadari adanya kepolisian
negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat
kepolisian maupun administratif, organisatoris.
8.
Zaman
Demokrasi Parlementer
Dengan
dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950
yang menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S.
Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden.
Waktu
kedudukan Polri kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas
kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam
Negeri. Kemudian R.S. Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo
3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan
Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai
sekarang. Ketika itu menjadi gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.
Sampai
periode ini kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang
memiliki organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir
dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam
Korpri, sedangkan bagi istri polisi semenjak zaman revolusi sudah membentuk
organisasi yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkari tidak ikut
dalam Dharma Wanita ataupun Dharma Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini
memiliki ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang
memenangkan kursi di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai
negeri berada di bawah gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan
perbaikan gaji dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana
gaji Polri relatif lebih baik dibanding dengan gaji pegawai negeri lainnya (mengacu
standar PBB).
Dalam
periode demokrasi parlementer ini perdana menteri dan kabinet berganti
rata-rata kurang satu tahun. Polri yang otonom di bawah perdana menteri
membenahi organisasi dan administrasi serta membangun laboratorium forensik,
membangun Polisi Perairan (memiliki kapal polisi berukuran 500 ton) dan juga
membangun Polisi Udara serta mengirim ratusan perwira Polri belajar ke luar
negeri, terutama ke Amerika Serikat.
9.
Zaman
Demokrasi Terpimpin
Dengan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali
ke UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD
1945. Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri
Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya
Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara
diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.
Pada
tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai
Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959
dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala
Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin
Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).
Waktu
Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan
Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan
alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959
R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda
Kepolisian, sehingga berakhirlah karir Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29
September 1945 hingga 15 Desember 1959.
Dengan
Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan
Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda
Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama
Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.
Tanggal
19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini
dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama
sederajat dengan TNI AD, AL, dan AU.
Dengan
Keppres No. 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU,
Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri
Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti
menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).
Kemudian
Sebutan Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian
(Menpangak) dan langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala
pemerintahan negara. Dengan Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung
jawab Polri ditentukan sebagai berikut:
a. Alat
Negara Penegak Hukum.
b. Koordinator
Polsus.
c. Ikut
serta dalam pertahanan.
d. Pembinaan
Kamtibmas.
e. Kekaryaan.
f. Sebagai
alat revolusi.
Berdasarkan
Keppres No. 155/1965 tanggal 6 Juli 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi
Angkatan Perang dan Polri selama satu tahun di Magelang. Sementara di tahun
1964 dan 1965, pengaruh PKI bertambah besar karena politik NASAKOM Presiden
Soekarno, dan PKI mulai menyusupi mempengaruhi sebagian anggota ABRI dari
keempat angkatan.
10. Zaman Orde Baru
Karena
pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya
integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun
1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan
Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bindang Pertahanan dan Keamanan yang
menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD,
AL, AU , dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan
bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada
Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.
Setelah
Soeharto dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab
berpindah kepada Jenderal M. Panggabean. Kemudian ternyata betapa ketatnya
integrasi ini yang dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara
universal memang bukan angkatan perang.
Pada
tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian
diganti kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI,
namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini
diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969.
Pada
HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1969 sebutan Panglima AD, AL, dan AU diganti menjadi
Kepala Staf Angkatan. Pada kesempatan tersebut anggota AL danAU memakai tanda
TNI di kerah leher, sedangkan Polri memakai tanda Pol. Maksudnya untuk
menegaskan perbedaan antara Angkatan Perang dan Polisi.
11. Zaman Reformasi
Adanya
Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Reformasi telah melahirkan Inpres No.
2/1999 tanggal 1 April 1999 dalam era Presiden BJ Habibie yang memisahkan Polri
dan TNI karena dirasakan memang terdapat perbedaan fungsi dan cara kerja
dihadapkan dengan civil society. Untuk sementara, waktu itu, Polri masih
diletakkan di bawah Menteri Pertahanan Keamanan. Akan tetapi, karena pada waktu
itu Menteri dan Panglima TNI dijabat orang yang sama (Jenderal TNI Wiranto),
maka praktis pemisahan tidak berjalan efektif.
Sementara
peluang yang lain adalah Ketetapan MPR No. VI/2000 tanggal 18 Agustus 2000 yang
menetapkan secara nyata adanya pemisahan Polri dan TNI, yang selanjutnya
diikuti pula oleh Ketetapan MPR No. VII/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri
secara tegas.
Sementara
itu, sebelum ketetapan-ketetapan tersebut di atas digulirkan, pada HUT
Bhayangkara 1 Juli 2000 dikeluarkan Keppres No. 89/2000 yang melepaskan Polri
dari Dephan dan menetapkan langsung Polri di bawah presiden.
Kendati
Keppres ini sering disoroti sebagai bahaya karena Kepolisian akan digunakan
sewenang-wenang oleh presiden, naun sesungguhnya ia masih bisa dikontrol oleh
DPR dan LKN (Lembaga Kepolisian Nasinal) yang merupakan lembaga independen.
Adapun
tantangan yang dihadapi Polri dewasa ini dan ke depan, terutama adalah
perubahan paradigma pemolisian yang sesuai dengan paradigma baru penegakan
hukum yang lebih persuasif di negara demokratis, di mana hukum dan polisi
tidaklah tampil dengan mengumbar ancaman-ancaman hukum yang represif dan kadang
kala menjebak rakyat, melainkan tampil lebih simpatik, ramah, dan familier.
Memberi
peluang tumbuhnya dinamika masyarakat dalam menyelesaikan konfliknya sampai
pada taraf tertentu. Memberi peluang berfungsi dan kuatnya pranata-pranata
sosial dalam masyarakat seperti adanya perasaan malu, perasaan bersalah, dan
perasaan takut bila ia melakukan penyimpangan, sehingga mendorong warga patuh
pada hukum secara alamiah
Sumber
: Tempo Interaktif : 1. Anton Tabah,
Membangun Polri yang Kuat, Jakarta, 2001.
2. Chaeruddin Ismail, Polisi yang Keder,
Jakarta, 2001
1) Tahun
1945 Kepolisian Negara berada dibawah departeman Dalam Negeri, berdasarkan
sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945.
2) Tahun
1946 Kepolisian Negara berada dibawah Perdana Menteri, berdasarkan Ketetapan
Pemerintah Nomor : 11/SD/tanggal 01 Juli 1946.
3) Tahun
1947 Kepolisian Negara di Militerisasi, berdasarkan Keputusan Dewan Pertahanan
Negara nomor : 112 Tahun 1947.
4) Tahun
1950 Pimpinan Kepolisian Negara diserahkan kepada Menteri Pertahanan,
berdasarkan Ketetapan Perdana Menteri Nomor : 03/PM/1950. Kemudian dicabut
kembali padabulan September 1950.
5) Tahun
1954 dibentuk Panitia Negara Perancang UU Kepolisian Negara, berdasarkan
KepPres Nomor : 297/1954. Kepolisian Negara ditunjuk untuk mewakili Pemerintah
Indonesia dalam InterPol berdasarkan keputusan Perdana Menteri Nomor :
245/PM/1954.
6) Tahun
1959 Kepolisian Negara menjadi Jawatan tersendiri dibawah Kementerian
Kepolisian berdasarkan KepPres Nomor : 154 Tahun 1959.
7) Tahun
1960 Kepolisian negara menjadi bagian dari ABRI, berdasarkan Ketetapan MPRS
Nomor : II/1960, disahkan dalam UU Pokok Kepolisian Negara Nomor : 13 Tahun
1961, Lembar Negara Nomor : 245, tambahan Lembar Negara Nomor : 289 Tahun 1961.
8) Tahun
1962 Kepolisian Negara diberi wewenang untuk mengadakan Koordinasi dengan
Departemen/Jawatan yang memiliki wewenang Polsus, berdasar KepPres nomor : 372
Tahun 1962.
9) Tahun
1964 AKRI (Angkatan Kepolisian Republik Indonesia) sebagai bagian dari ABRI,
berdasarkan KepPres Nomor : 290 Tahun 1964.
10) Tahun
1966 AKRI sebagai bagian dari ABRI dengan Matra Kamtibmas, berdasarkan
Ketetapan MPRS Nomor : XXIV/1966.
11) Tahun
1969 Sebutan AKRI diubah menjadi POLRI, berdasarkan KepPres Nomor : 052 Tahun
1969.
12) Tahun
1970 Reorganisasi POLRI, berdasarkan Surat Keputusan MenHanKam/PangAB Nomor :
A/385/VIII/1970.
13) Tahun
2000 POLRI dipisahkan dari ABRI, berdasarkan Ketetapan MPR Nomor : VI/2000.
Tanggal 18 Agustus 2000
0 komentar:
Posting Komentar