Meskipun hal itu telah berlalu 15 tahun
yang lalu, namun hal itu masih saja berbekas di benak para pencari kebenaran,
mengingat dan menimbang dan seterusnya admin berusaha mengambil sebuah cerita
untuk mengenang dan mengingat kembali masa itu, agar tragedi ini terus melekat
di dalam benak teman-teman semua.
Kekuasaan telah berpindah tangan namun
hal ini , masih saja dipertanyakan mengapa dan kenapa hal ini terjadi. Ikuti sejarahnyan.
Tamoeng jue.
awal muawalnya,
4 Perwira Polisi Hilang Misterius
Bulan Mei 1998, sejarah dunia mencatat
gejolak di Indonesia. Gejolak yang berujung pada jatuhnya Presiden Soeharto.
Aksi kerusuhan massa, penjarahan, dan pemerkosaan juga berlangsung dengan sangar dan brutal. Reformasi terus bergulir, namun pemicu kerusuhan yang sebenarnya masih
bersembunyi di balik debu kelabu. Laporan investigasi Susan Berfield dan Dewi Loveard
dari Asiaweek mengungkap, kerusuhan itu memang ada yang mendalangi. Keduanya
menyimpulkan, kerusuhan itu adalah hasil sebuah aksi yang terencana rapi.
Berikut intisarinya.
‘’SEPULUH hari yang mengoyak
Indonesia.’’ Begitu majalah berita terkemuka di Asia itu menyebut huru-hara
yang menimpa Indonesia selama Mei lalu. Kisah ini dimulai bergeraknya jarum jam
pada 12 Mei. Jarum jam itu berhenti ketika 4 mahasiswa Universitas Trisakti,
Jakarta, ditembak mati oleh oknum aparat keamanan.
Dalam tempo 24 jam, insiden penembakan
itu membakar amarah massa. Di tengah situasi itu pula, sebuah program anti-Cina
dilancarkan. Api pun melahap Jakarta. Warga keturunan Cina berlarian
meninggalkan ibu kota. Jakarta tidak ubahnya sebuah ‘’zona perang.’’
Ujung-ujungnya, Presiden Soeharto pun dipaksa mundur. Tetapi, arah nasib bangsa
ini masih saja antah berantah.
Sampai detik terjadinya kerusuhan –batu
merajam bangunan mewah dan api melahap mobil-mobil–, rakyat semula banyak
mengira itu sebuah spontanitas massa. Massa yang marah terhadap penguasa yang
terlalu lama memerintah tunggu perintah. Tetapi, apakah bangsa ini sudah sedemikian
brutal ?
Sejarah Indonesia memang beberapa kali
mencatat noda hitam aksi kekerasan. Namun, siapa penggeraknya, hampir tidak
pernah diidentifikasi secara jelas. Itulah sosok-sosok ‘’pemimpin bayangan’’.
Siapa mereka, tidak seorang pun berani membuka mulut. Sebab, mereka adalah
orang-orang superkuat, yang hukum pun seolah anti menjamahnya apa lagi menguaknya.
Kali ini, insiden Trisakti itu
memberikan gambaran riil. Dua orang oknum polisi diajukan ke pengadilan militer
sebagai pesakitan. Tetapi, benarkah mereka pelakunya? Jujur saja, sebagian
rakyat Indonesia percaya bahwa para terdakwa itu hanya ‘’kambing hitam’’.
Pengadilan militer itu hanya bagian sebuah upaya melindungi kepentingan militer
yang lebih besar.
Hasil investigasi sebulan penuh
Asiaweek –termasuk wawancara dengan beberapa perwira militer, pengacara,
aktivis hak asasi manusia (HAM), para korban, dan saksi mata– menyimpulkan,
penembakan Trisakti, kerusuhan, penjarahan, dan aksi pemerkosaan terhadap para
wanita Cina itu benar-benar sudah direncanakan.
Di antara bukti yang didapat selama
investigasi itu adalah hilangnya empat perwira polisi lengkap dengan seragamnya
beberapa hari sebelum penembakan itu terjadi. Lagi pula, peluru yang diambil
dari tubuh korban Trisakti itu bukanlah peluru resmi milik kepolisian. lantas milik siapa ? antahlah ya?
Belum cukup di situ. Bukti lain
menyatakan bahwa dua orang lelaki, yang kini dalam persembunyian, mengakui
bahwa mereka sengaja direkrut untuk memancing kerusuhan. Bahkan, sumber-sumber
militer mengatakan bahwa untuk kali pertama mereka berhasil menyadap arus
komunikasi beberapa markas AD di Jakarta dengan kelompok-kelompok provokator
pada 14 Mei lalu.
Pertanyaannya, bila kerusuhan itu
sengaja digerakkan, tentu pasti ada dalangnya. Identitas si dalang ini memang
tidak pernah gamblang membentang. Namun, salah seorang yang disebut-sebut terkait dengan
serangkaian aksi kerusuhan itu adalah menantu Soeharto, Letjen TNI Prabowo
Subianto, yang saat itu menjabat Pangkostrad. Bahkan, beberapa kalangan
menilai, keterlibatan Prabowo itu sudah kelewat jelas.
Namun, Fadli Zon –aktivis muslim yang
dekat dengan Prabowo– menilai, sang letjen itu hanyalah korban ‘’pembunuhan
karakter’’. Beberapa hari setelah kerusuhan itu, Prabowo menyangkal terlibat
dalam kerusuhan itu. Lewat perantaranya, Juni lalu dia menyatakan siap
diwawancarai Asiaweek. Tetapi, sampai kini janji wawancara itu tidak pernah
terwujud.
Mengapa harus Prabowo? Banyak alasan
yang mendukung tudingan itu. Prabowo sudah luas dikenal sebagai sosok ambisius.
Dia memiliki berbagai sarana untuk menyulut kerusuhan itu. Dengan posisinya,
dia juga mampu memerintahkan beberapa pemuda yang tak berdaya melawan perintah,
termasuk beberapa oknum dari organisasi paramiliter yang dikenal jago menyulut
kerusuhan.
Para preman, gangster, oknum
paramiliter, dan beberapa perkumpulan pemuda melaksanakan saja apa yang dia
perintahkan. Beberapa di antaranya, seperti Pemuda Pancasila, memang sudah
mapan. Sumber-sumber militer mencurigai bahwa keterlibatan organisasi lain
dalam kerusuhan di Jakarta itu tidak lebih dari sebuah jaringan lokal yang
dikepalai para preman yang direkrut dari berbagai provinsi untuk mengacau ibu
kota.
‘’Prabowo terobsesi keyakinannya bahwa
satu-satunya cara bisa memerintah Indonesia adalah dengan tipu muslihat
militer. Dengan cara itu, dia yakin bisa meraih kekuasaan seperti mertuanya
meraih kekuasaan dari Soekarno,’’ ujar salah seorang perwira militer
senior.
Dia menjelaskan, Prabowo sengaja
menciptakan kerusuhan itu dengan harapan rivalnya, (saat itu) KSAD Jenderal TNI
Wiranto, tidak mampu memulihkan keadaan. Harapan Prabowo adalah Soeharto, yang
ketika kerusuhan terjadi berada di Mesir, memberlakukan undang-undang darurat.
Sebagai panglima Kostrad, satuan inti siap tempur, Prabowo sangat yakin dialah
yang bisa mengendalikan situasi. Inilah teorinya.
Teori lain mengatakan, Prabowo sengaja menciptakan kerusuhan itu untuk menarik simpati Soeharto bahwa Prabowo mampu mengendalikan situasi yang tidak menentu. Tetapi, apa yang terjadi kemudian?
Prabowo kehilangan pelindung sekaligus
komandonya. Negaranya menanggung kerugian yang jauh lebih besar. Setidaknya
1.188 orang tewas, sekitar 468 wanita diperkosa, 40 mal dan 2.470 toko ludes
dimakan api, serta tidak kurang dari 1.119 mobil dibakar atau dirusak.
Bagaimana sebenarnya peristiwa pilu ini
terjadi? Mari kita telusuri sepuluh hari yang mencekam dan mengguncang ibu kota
itu.
12 MEI: Sekitar pukul 10.30 WIB,
mahasiswa mulai berkumpul di pelataran parkir di luar kampus Universitas
Trisakti yang megah dengan bentuk M berlantai dua belas itu. Ini merupakan demo
terbesar pertama yang dilaksanakan Trisakti. Mahasiswa yang ikut pun berasal
dari bermacam golongan dan strata sosial. Ada anak-anak birokrat, pengusaha,
diplomat, dan bahkan anak orang militer.
Areal parkir, biasanya dipenuhi Kijang,
Toyota, dan Peugeot, siang yang panas itu benar-benar dijejali mahasiswa yang
protes. Beberapa saat sebelum jarum jam menunjukkan pukul 11.00 WIB, bendera
Merah Putih dikerek setengah tiang. Sementara itu, mahasiswa dan dosen
menyanyikan lagu kebangsaan. Lalu, mereka mengheningkan cipta sesaat sebelum
akhirnya berteriak meminta Soeharto mundur.
Pada pukul 12.30 WIB, sekitar 6.000
mahasiwa bergerak menuju jalan raya di sekitar kampus. Mereka bertekad
melakukan long march menuju gedung DPR/MPR. Tiga wakil Trisakti –Dekan Fakultas
Hukum Adi Andoyo Sutjipto, Kepala Satpam Kampus Arri Gunarsa, dan Ketua Senat
Mahasiwa Julianto Hendro–melakukan negosiasi dengan aparat keamanan. Saat itu
jarum jam sudah mendekati pukul 13.00 WIB.
Perwakilan Trisakti itu meminta aparat
mengizinkan mereka berjalan ke gedung wakil rakyat sejauh 5 km. Tetapi,
permintaan itu tidak dikabulkan. Mahasiwa kecewa dan duduk-duduk sambil terus
beraksi di jalanan. Julianto mengungkapkan penyesalannya karena keinginan
bertemu wakil rakyat itu tidak terkabul.
Aksi mahasiswa masih bertahan. Orasi,
lagu kebangsaan, dan pekik protes terus berlangsung meski hujan mengguyur.
Beberapa demonstran malah dengan akrab meletakkan bunga di pelatuk senapan para
polisi yang berdinas. Sampai akhirnya terdengarlah kabar dari Golkar, kelompok
yang merajai di DPR, bahwa tidak seorang pun sanggup menerima mereka. Berdiri
tegak di tengah polisi dan rekan-rekannya, Julianto menyeru kepada mahasiswa
yang kecewa. Meski kecewa, janganlah menyulut aksi kekerasan
0 komentar:
Posting Komentar