Senin, 08 April 2013

Aceh; Antara Bintang Bulan dan Merah Putih (ABBMP)

Oleh Hasanuddin Yusuf Adan

SEPERTI sudah menjadi nasib dikandung badan bagi wilayah Aceh yang berposisi di sebelah barat Pulau Sumatera. Kenapa tidak, habis satu masalah timbul masalah lain, habis satu perkara muncul perkara lain, begitulah nasib Aceh yang tidak pernah luput dari berbagai perkara dan masalah. Kali ini Aceh dihebohkan oleh penetapan Qanun No.3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh oleh DPRA. Pengesahan qanun tersebut selain ditolak Jakarta juga ditolak oleh sebagian masyarakat Aceh di kawasan Gayo dan Aceh Tenggara.

Fenomena tersebut di satu sisi tidak menjadi persoalan luarbiasa lagi bagi bangsa Aceh karena sudah pernah bergelimang dengan persoalan yang sangat luar biasa di masa-masa lampau. Terlepas dari itu semua, bangsa Aceh harus hidup dan bertindak arif dalam menyahuti berbagai issu yang menyorot Aceh dan bangsanya sehingga pengalaman ketabrak sesama sendiri seperti masa-masa lalu tidak terulang lagi.

Kita sudah kenyang berperang sesama sendiri mulai dari kasus Cumbok, DI/TII, GAM dan lainnya yang sudah sangat banyak merugikan Aceh dan bangsanya. Lalu apa yang harus kita pertentangkan lagi kali ini sehingga kita harus bergaduh sesama sendiri, ingatlah kita bahwa perjalanan hidup ini selalu memihak kepada siapa yang rajin berusaha dan rajin bekerja.

Nanti kalau masa berganti, generasi bertukar, maka momentum pun akan berubah lagi sesuai dengan perputaran zaman dan masa. Untuk itu semua bangsa Aceh harus memperkuat persahabatan dan persaudaraan dalam konteks Aceh tanpa memilah, tanpa memisah dan tanpa memberi dukungan kepada pihak lain yang bukan Aceh. Semua itu harus dilakukan oleh generasi sekarang untuk memperkokoh eksistensi generasi mendatang.

Bendera sendiri
Menyimak esensi dan eksistensi Aceh dari masa ke masa sebenarnya Aceh pernah memiliki bendera sendiri sebagai Bendera Kerajaan Aceh Darussalam yang berlambang Cap Sikureueng (Cap Sembilan) dan bendera warna merah yang berlambang pedang (peudeueng) Aceh sehingga wujud syair: di Aceh na alam peudeueng, cap sikureueng lam jaroe raja, dari Aceh sampé u Pahang, hana soe teuntang Iskandar Muda (di Aceh ada alam pedang, cap sembilan digenggam raja, dari Aceh sampi ke Pahang, tiada yang tentang Iskandar Muda).

Kerajaan Aceh sendiri sebelum Aceh menjadi bagian Indonesia terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil seperti; Kerajaan Meureuhom Daya, Kerajaan Aceh, Kerajaan Pedir, Kerajaan Samudera, Kerajaan Pase, Kerajaan Beunua, dan Kerajaan Linge. Semua itu kemudian dipersatukan sultan Ali Mughayyatsyah menjadi Kerajaan Aceh Darussalam (KAD). Dari sinilah terbentuk sebuah wilayah yang kemudian terkenal dengan nama negara Aceh yang ditakuti oleh lawan dan disenangi/dikagumi oleh kawan.

Terkait dengan Bendera dan Lambang Aceh hari ini hasil penetapan Qanun No.3 Tahun 2013, merupakan sebuah hasil produk hukum yang punya rentetan dengan perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kemudian terjadi perdamaian dengan Indonesia 15 Agustus 2005 dengan dokumennya MoU Helsinki, kemudian lahir UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dari UUPA tersebutlah turun qanun-qanun yang diperlukan Aceh selaras dengan latar belakang wujudnya UUPA tersebut.

Diakui atau tidak, hasil Pemilu 2009 dan Pemilukada Aceh 2011 dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya telah melahirkan 69 anggota DPRA plus seorang gubernur dan seorang wakil gubernur Aceh. Secara hukum Indonesia mereka telah mendapatkan wewenang untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab legislatif dan eksekutif untuk masa lima tahun terhitung dari masa pengesahannya. Mereka menjadi representasinya lima juta rakyat Aceh hari ini untuk mengurus wilayah yang sering dirundung malang ini. Oleh karena itu, di satu sisi tidak ada yang berlebihan apabila DPRA menetapkan Qanun No.3 Tahun 2013 sebagai Qanun Bendera dan Lambang Aceh dengan fisik benderanya mirip bendera GAM dan lambangnya mirip lambang GAM.

Kalau kita menggunakan logika, ketika GAM sudah berdamai dengan RI dan mengakui negara Indonesia berarti GAM sudah tidak ada lagi, yang berarti semua atribut GAM pun ikut ranab bersamanya. Kalau atribut GAM sudah ranab, maka yang disahkan DPRA tersebut adalah bendera dan lambang Aceh, bukan lagi bendera dan lambang GAM. Lagi pula para petinggi RI sangat amat sering mengungkapkan: Sekarang ini Aceh boleh meminta apa saja dari Indonesia akan diberikan, kecuali satu, yaitu; merdeka.

Sekarang Aceh telah memenuhi dan menyambuti ajakan para petinggi Indonesia tersebut, maka apa lagi yang harus Indonesia ribut dan takutkan dari Aceh? Bukankah Indonesia sudah berpengalaman ketika siaga berunding dengan GAM dulu juga banyak suara yang menyalahkan Indonesia. Toh, sekarang kan Indonesia juga yang beruntung setelah berdamai dengan GAM? Bersikap arif dan bijaklah wahai penguasa Indonesia dan jangan bersikap hipokrit.

 Perbedaan mendasar
Terdapat perbedaan mendasar antara sebuah perjuangan ideologi dengan perjuangan materi, perjuangan ideologi biasanya bertahan lama sehingga ia mendapatkan hasil kemenangan atau kehancuran. Sementara perjuangan materi sering berakhir ketika sudah mendapatkan keuntungan sesaat atau sudah capek tidak bergairah lagi berjuang. Lalu kalau kita pasang miniatur tersebut kepada pejuang bulan bintang dengan pejuang merah putih, yang mana masuk perjuangan ideologi dan yang mana pula perjuangan materi?

Dalam suasana tolak tarik bendera Aceh yang berlambang bulan bintang hari ini hadir pula pengambil kesempatan lainnya yang mengangkat isu Aceh Leuser Antara (ALA) (Serambi, 2/4/2013). Mereka berupaya mewacanakan kembali isu ALA yang secara kasat mata dapat disimpulkan untuk menempati posisi-posisi strategis ketika propinsi ALA tersebut lahir nantinya. Sikap dan prilaku semacam itu termasuk kedalam perjuangan materi yang diiming-iming oleh jabatan, kedudukan, mata uang dan seumpamanya.

Sesungguhnya, kalau mau menngedepankan alasan kemajuan wilayah, maka bukan Aceh yang harus dimekarkan, tetapi Indonesia yang harus dibelah-belah dan dimekarkan menjadi beberapa negara. Karena sumber kemunduran dan ketertinggalan daerah ada pada Indonesia bukan pada Aceh. Bayangkan saja sudah lebih setengah abad Indonesia wujud di permukaan bumi ini tetapi bangsa Indonesia masih morat-marit dan tidak bermarwah di mata bangsa lain di dunia.

Negara yang mempunyai hasil alam melimpah tetapi rakyatnya hidup centang-perenang, hasil alam Aceh yang melimpah ruah sebelum reformasi semuanya diangkut ke Jakarta, tidak ada yang tinggal untuk membangun Aceh, kayu dalam hutan dirambah oleh kakitangan Indonesia dan dijual keluar negeri. Kalau begitu kenyataan yang sangat amat nyata, maka mengapa Aceh yang harus dimekarkan; Bukankah punca segala masalah ada di Jakarta?

Yakinlah oleh kita semua bahwa dunia ini selalu memberi peluang dan kesempatan kepada ie raya (air bah). Ketika ie raya datang tiada seorang pun yang mampu bertahan, ketika kita tidak mampu bertahan maka janganlah berupaya untuk bertahan, nanti akan merusakkan badan. Solusinya, bersabarlah sehingga ia berakhir dan datang air bah berikutnya; Siapa tahu dalam air bah selanjutnya kita menjadi pengendali air bah itu. Orang Aceh sering berucap: Bak ie raya bek tatheuen ampeh, bak ie tireh bek tatheun bubee; Bek tameungon deungon sipaleh, hareuta teuh abeh geutanyoe malee.

* Hasanuddin Yusuf Adan, Ketua Umum Dewan Dakwah Aceh. Email: diadanna@yahoo.com

Editor : bakri

0 komentar:

Posting Komentar