Senin, 08 April 2013

Bukan Bendera, tapi Diana

Oleh Asmaul Husna

ACEH kembali bergema. Belakangan ini kita disuguhkan oleh dua peristiwa yang sangat kontradiksi, bendera dan Diana. Beberapa waktu lalu, DPRA telah mengesahkan tiga rancangan qanun (raqan) menjadi qanun, satu di antaranya adalah Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang baru (Serambi, 23/3/2013). Rancangan qanun yang sempat tertunda sejak tiga tahun lalu itu, kini telah menjadi sebuah produk hukum yang sah di Aceh.

Setelah bendera ada Diana, seorang gadis kecil berusia enam tahun harus meregang nyawa akibat ulah biadab dua manusia yang membunuhnya setelah terlebih dulu merenggut keperawanannya. Salah satu pelakunya adalah Hasbi (17) yang tak lain adalah pamannya sendiri. Jenazah korban ditemukan Rabu (27/3/2013) pagi, di semak-semak dekat tanggul kawasan Peulanggahan (Serambi, 28/3/2013). Tidak berselang lama, Agus Mawar (31) sang ibunda Diana juga menyusul kepergian putri semata wayangnya yang sebelumnya juga sakit berat (Serambi, 2/4/2013).

 Realitas kontras
Kita sedang disuguhkan oleh dua realitas kontras, euforia bendera dan tangis kepergian Diana. Bendera, sejak disahkan oleh DPRA sebagai identitas baru Aceh, kini telah menyita perhatian banyak masyarakat dan menarik massa untuk ber-euforia atas pengesahan tersebut. Euforia kegembiraan pun bergema sampai ke seluruh pelosok tanah Aceh. Jalan-jalan dipenuhi dengan aksi konvoi mengibarkan bendera diiringi dengan suara pekikan kegembiraan. Tidak hanya Aceh, bahkan Jakarta pun disibukkan dengan persoalan sehelai kain berwarna merah yang bercorak benda langit sebagai lambang sebuah kebanggaan.

Namun di sudut lain, kasus Diana begitu menyayat kalbu. Di tengah euforia massa yang histeria, gadis kecil ini harus menjadi korban kebiadaban dua manusia yang tidak mempunyai jiwa kemanusiaan. Saya tengah membayangkan bagaimana Diana, seorang gadis kecil yang lucu dan lugu itu menikmati bermain dengan kawan sebayanya. Bagaimana seorang Diana menjadi tumpuan harapan orang tuanya. Namun, masa kanak-kanak yang seharusnya diisi dengan kegembiraan itu terpaksa pupus karena direnggut paksa oleh orang yang bahkan dianggap bisa melindunginya. Nasib hidupnya pun harus berakhir mengenaskan di tangan sang paman.

Di Aceh, kasus serupa ini bukanlah pertama kalinya terjadi. Menurut lembaga Gerakan Perempuan Aceh (GPA), telah terjadi 66 kasus kekerasan seksual terhadap anak berusia 2-18 tahun di Aceh. Tidak hanya itu, sebanyak 994 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Aceh juga telah terjadi sepanjang 2011-2012 lau. Total kasus keduanya yang berjumlah 1.060 kasus, ini pun kemudian semakin menambah daftar derita perempuan.

Tidak hanya itu, berdasarkan data statistik dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA) menyatakan bahwa telah menerima 673 pengaduan eksploitasi seksual komersial terhadap anak sepanjang 2012. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 480 kasus. Sedangkan untuk kasus perkosaan tercatat pada periode 1998-2010 terjadi 4.845 di Indonesia. Bahkan lebih jauh lagi, Indonesian Police Watch (IPW) mencatat, sudah ada 25 kasus perkosaan yang terjadi sepanjang Januari 2013. Hanya dalam rentan waktu satu bulan, jumlah korban pun berjatuhan sebanyak 29 orang dan jumlah pelaku mencapai 45 orang.

Kenyataan ini pun kemudian memaksa kita untuk melihat bahwa tak ada tanah yang aman untuk ditinggali oleh makhluk Tuhan bernama perempuan, termasuk Aceh yang disebut-sebut sebagai negeri bersyariat. Tidak hanya itu, bahkan rasa aman pun menjadi sulit dan mahal didapatkan walau dari kerabat keluarga sekalipun yang seharusnya menjadi tempat yang aman untuk kita mendapat perlindungan.

Padahal undang-undang tentang perlindungan anak telah termaktub dalam Pasal 81 ayat (2) UU No.23 Tahun 2002. Ancaman hukumannya juga tidak main-main, yaitu berupa penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun dan denda minimal 60 juta dan maksimal 300 juta rupiah. Namun sayang, undang-undang ini pun belum mampu memayungi anak ataupun perempuan untuk hidup dalam rasa aman.

 Lindungi perempuan

Berkaca pada kenyataan di atas, mungkin kita akan melupakan sejenak euforia massa akan bendera itu, jika Diana adalah saudara kita, sang adik, ataupun anak kita sendiri. Bagaimana perasaan Anda jika Diana adalah sang buah hati Anda sendiri, namun menjadi korban kebiadaban manusia yang bahkan telah hilang sisi kemanusiaannya? Apa yang akan Anda lakukan jika buah hati yang menjadi tumpuan harapan Anda itu direnggut kehidupannya, bahkan dengan cara yang tidak Tuhan izinkan?

Membayangkannya saja saya tidak sanggup, apalagi harus berada pada posisi Diana ataupun keluarga yang ditinggalkannya. Lalu mengapa kita tidak belajar berempati? Bahkan, histeria massa menyambut pengesahan bendera lebih terdengar menggelegar daripada kiriman doa untuk Diana. Upaya-upaya untuk membela kaum yang lemah seperti perlindungan bagi anak dan perempuan pun harus tenggelam dalam isu-isu politik yang selalu hangat untuk diperbincangkan.

Dalam hal ini, kehadiran Komnas perlindungan anak, perlindungan perempuan, ataupun sejenisnya, menjadi sangat diharapkan. Karena keberadaan lembaga sejenis ini, tentunya bukan hanya sekadar pelengkap penderita semata dan memberi “stempel perlindungan”, tapi  lebih jauh dari itu. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada lagi `Diana-Diana lain’ yang harus menanggung derita hingga meregang nyawa karena ulah manusia yang membinatanginya. Peristiwa ini tentu saja tidak cukup hanya disikapi dengan kemarahan semata, karena kejahatan ini terlalu ‘sempurna’ untuk disikapi secara sederhana.

Mungkin kita memang telah gagal menyelamatkan satu jiwa, tapi kita masih punya kesempatan untuk melindungi jiwa-jiwa yang lain. Jangan pernah untuk kembali menutup mata dan melihat bahwa di luar sana, betapa banyak Diana-Diana lain yang kini sedang meraung ketakutan. Mereka memang masih hidup, tapi seolah mati. Negeri ini seolah menjadi neraka bagi perempuan dan membakar semua jiwa-jiwa kemanusiaan.

Kami para ‘Diana’, kini pun menjadi bingung harus meminta perlindungan pada siapa lagi, karena ternyata butir-butir hukum belum mampu melindungi perempuan seutuhnya. Dalam hal ini, bukan kami perempuan tidak mau menjaga diri, tapi kami menjadi tidak berdaya ketika nafsu-nafsu syahwat kaum Adam menyerang perempuan secara brutal. Melihat kenaasan nasib yang menimpa Diana, kini kaum perempuan pun semakin terkungkung dalam ketakutan.

Kasus Diana, hanyalah sepotong cerita pilu negeri ini yang menyeruak ke permukaan. Karena masih banyak potongan-potongan lainnya yang harus tenggelam dalam isu-isu lain yang lebih ‘panas’, ataupun sengaja ‘dipanaskan’. Tanah ini beserta penghuninya pun terpasung dalam kemunafikan. Kalau bukan pada keluarga, masyarakat, dan pemerintah, kemana lagi perempuan harus meminta perlindungan? Maafkan kami Diana!


Asmaul Husna, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhikseumawe, dan peserta Sekolah Demokrasi Aceh Utara (SDAU) angkatan III. Email: hasmaul64@yahoo.com
Editor : hasyim

0 komentar:

Posting Komentar