PERTEMPURAN MEDIA SOSIAL
JERUSALEM — Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dan kelompok militan
Hamas saling menyerang di Twitter selama pertempuran yang terjadi di lapangan,
untuk mempengaruhi opini publik.
Tak lama setelah meluncurkan serangan pada Rabu (14/11) dengan membunuh
komandan militer papan atas Hamas, Ahmed Jabari, kantor media militer Israel
mengumumkan “kampanye meluas untuk situs-situs teror dan operasi di Jalur Gaza”
pada akun Twitternya.
Kantor tersebut kemudian mengunggah video hitam putih berdurasi 10 detik
berisikan serangan udaranya pada halaman resmi di Youtube. Google Inc., yang
memiliki Youtube, menghapus video tersebut pada Kamis, namun kemudian
mengembalikannya.
Sebuah tweet dari @idfspokesperson mengatakan: “Kami meminta tidak seorang pun
dari Hamas, baik di level bawah maupun pemimpin senior, untuk menampakkan
wajahnya di atas tanah pada beberapa hari mendatang.”
Hamas, dengan akun @AlQassamBrigade yang berbahasa Inggris, yang dianggap
sebagai akun resmi untuk pihak militernya, menyerang balik: “Tangan kami yang
diberkati akan menyentuh pemimpin dan tentaramu di mana saja kamu berada (Kau
Membuka Pintu Neraka Untukmu Sendiri).”
Akun kantor media militer Israel, yang mendapat lebih dari 50.000 pengikut
dalam 24 ham, merupakan salah satu dari beragam sarana di Internet yang dipakai
untuk menyampaikan informasi terkini ke publik, bahkan terkadang sebelum
disampaikan ke jurnalis.
Mereka juga menggunakan kanal Youtube, Facebook, foto album Flickr, serta akun
Tumblr dalam bahasa Inggris, serta bahasa Spanyol sebentar lagi.
Menyusul pembunuhan terhadap komandan Hamas, militer Israel mengunggah foto
Jabari di Twitter, dengan latar belakang merah dan tulisan huruf kapital tebal
“Dibasmi.” Hal ini mengundang tepukan sekaligus kritikan dari banyak pengguna.
Selama operasi, militer dan pendukungnya menggunakan tagar
"IsraelUnderFire (Israel Diserang)," sementara pihak Palestina
menggunakan tagar "GazaUnderAttack (Gaza Diserang).”
Operasi tersebut, diluncurkan setelah beberapa hari serangan roket dari Gaza ke
Israel bagian selatan, merupakan putaran kekerasan yang paling intens sejak
Israel dan Hamas terlibat dalam perang tiga minggu empat tahun lalu.
Juru bicara militer Israel Letkol Avital Leibovich, mengatakan bahwa zona
perang tambahan antara Israel dan Hamas berkembang di Internet.
“Saya agak kecanduan Twitter. Ini sarana yang baik untuk merilis informasi
tanpa sentuhan editor,” ujarnya.
“Militer biasanya melakukan operasi tertutup, namun kami melakukan yang
sebaliknya.”
Leibovich memimpin divisi “Media Interaktif” di IDF, dengan 30 orang staff yang
terlatih dalam menulis dan desaingrafis.
Sementara itu, divisi militer Hamas sering memperbarui halaman Facebook dan
situs multibahasa mereka, seraya memberi informasi pada reporter melalui pesan
ponsel pendek.
Nader Elkhuzundar, pengguna Twitter berusia 25 tahun dari Gaza, mengatakan
rentetan media sosial telah mencapai “level baru perang psikologi.”
"Twitter memberi sarana bersuara, namun ada banyak informasi yang salah
pada saat yang sama. Kita harus berhati-hati karena banyak kebisingan di luar
sana,” ujarnya.
Tamir Sheafer, ketua program komunikasi politik di Universitas Hebrew,
mengatakan bahwa penggunaan media sosial oleh kedua belah pihak menandai
kesadaran bahwa “konflik semacam ini tidak dimenangkan di lapangan, namun
melalui opini publik.”
Namun penggunaan media sosial untuk diplomasi publik juga merupakan pedang
bermata dua, ujar Natan Sachs dari Brookings Institute di Washington.
"Di satu pihak, Israel semakin handal menyampaikan pesan publik, namun
kita juga melihat pernyataan-pernyataan yang sembrono. Berbahaya jika
menggunakan akun Twitter secara berlebihan,” ujarnya.
“Mereka juga sepertinya jatuh dalam jebakan pikiran bahwa mereka telah
menangani hubungan masyarakat dengan baik. Namun pada akhirnya yang berarti
adalah kebijakan, bukan pernyataan di Twitter,” tambahnya. (AP/Lauren E. Bohn)
0 komentar:
Posting Komentar