TERMINOLOGI ulama di kalangan masyarakat Aceh
tampaknya masih menyimpan makna yang ambigu. Munculnya istilah ulama dayah,
ulama rasional, ulama struktural dan ulama intelektual dalam buku “Resolusi
Konflik dalam Islam; Kajian Normatif dan Historis Perspektif Ulama Dayah Aceh”
karya Tgk H Ibrahim Badan (Abu Panton) disinyalir oleh sebagian kalangan dapat
menjadi suatu indikator terpecahnya ulama Aceh dalam beberapa kelompok yang
seharusnya tidak perlu terjadi, karena dapat menyebabkan sentiment yang mengarah
ke perang urat saraf.
Hal ini seolah mempertegas asumsi bahwa
fenomena “ulama dayah vs ulama kampus” adalah suatu keniscayaan yang tak dapat
dihindari di Aceh. Apa yang melatari munculnya konfontrasi ini? Apakah karena
ulama dayah bermazhab Syafi’i sedangkan ulama kampus tidak bermazhab Syafi’i?
Dulu, asumsi semacam ini begitu “diimani”
oleh banyak kalangan. Namun, seiring berjalannya waktu, `illat (motif) tersebut
semakin tidak relevan. Hal ini dikarenakan sebagian ulama bermazhab Syafi’i
zaman sekarang (mungkin juga dulu) tidak hanya berada dalam komunitas dayah,
tapi mereka juga berkiprah di kampus dan dunia pemerintahan. Bahkan sebagian
dayah dewasa ini (seperti MUDI Mesra) juga sudah mendirikan kampus di dalamnya
dengan tidak menanggalkan identitas Syafi’iyah-nya.
Bersifat simbolik
Beberapa klasifikasi ulama di atas bukan
merupakan sesuatu yang substantif, tetapi lebih bersifat simbolik yang
didasarkan pada masa, tempat, kondisi sosial dan ruang lingkup peranan
masing-masing ulama. Tak jarang, seseorang pada pagi harinya menjadi ulama
kampus, tetapi pada malam harinya menjadi ulama dayah. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari latar belakang pendidikan mereka.
Klasifikasi ulama yang lebih substantif telah
dikemukakan oleh Imam al-Ghazali. Menurutnya, ulama terbagi dua; ulama dunia
dan ulama akhirat (Ihya ‘Ulmuddin, juz 1, hal. 58). Ulama dunia adalah ulama
yang ‘menjual’ ilmunya untuk ‘membeli’ kemegahan duniawi. Sedangkan ulama
akhirat adalah ulama yang ‘menanam’ ilmunya untuk ‘memetik’ kebahagiaan
akhirat. Dunia dalam perspektif ulama akhirat hanya sebagai alat (wasail),
bukan tujuan (maqashid). Terminologi ulama dunia tampaknya merujuk pada satu
sabda Rasulullah saw: “Manusia yang paling berat azabnya di akhirat adalah
ulama yang tidak bermanfaat ilmunya” (HR. al-Thabrani).
Berdasarkan hadis tersebut di atas, muncullah
istilah ulama su’ (ulama jahat), yakni ulama yang terjerumus dalam “lembah”
dunia, seperti Bal’am bin Ba’ura, seorang ulama Bani Israil yang mustajabah
doanya. Tetapi kemudian tersesat karena membantu kaumnya untuk mengalahkan Nabi
Musa as sebagaimana dijelaskan dalam Alquran, Surat al-A’raf: 175 (Tafsir
al-Thabari, juz 13, hal. 262). Sedangkan istilah ulama akhirat diperkuat oleh
firman Allah swt: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah, hanyalah para ulama”
(QS. Fathir: 27).
Munculnya istilah ulama dunia dan ulama
akhirat bukan pengaruh dari sekularisasi, tetapi disebabkan oleh sikap dan
tingkah laku mereka yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Menurut saya,
justru menafikan klasifikasi para ulama ke dalam beberapa kelompok tertentu
yang merupakan produk sekularisasi. Kaum sekuler sengaja menyamarkan
sekat-sekat yang terdapat dalam berbagai firqah ulama, sehingga masyarakat awam
--bahkan sebagian intelektual muslim-- semakin gamang dalam memilih panutan.
Seolah semua ulama bisa diikuti, padahal sebagian dari mereka justru merupakan
“musang berbulu ayam”.
Lihatlah bagaimana kaum liberal memproduk
fatwa-fatwa yang “menghantam” sebagian hukum-hukum qath’i, seperti ayat-ayat
yang berbicara tentang hudud dan warisan. Dalam hal ini, pemikiran mereka juga
dianggap sebagai hasil ijtihad ulama. Menyematkan gelar ulama kepada mereka
secara mutlak (tanpa idhafah kepada kata dunia) justru merupakan”bom waktu”
dalam masyarakat.
Firqah
teologi
Sejarah telah mencatat, bagaimana psywar
terjadi di antara 73 firqah teologi dalam dunia Islam. Semua firqah masuk ke
dalam neraka kecuali satu, yakni Ahlussunnah waljama’ah (HR. al-Turmuzi).
Perincian 73 firqah ini menurut Syaikh ‘Ali bin Abu Bakar bin As-Saqaf ‘Alwi
adalah Syi’ah 22 aliran, Khawarij 20 aliran, Mu’tazilah 20 aliran, Murjiah 5
aliran, Najariah 3 aliran, Jabariah 1 aliran, Musyabbihah 1 aliran dan
Ahlussunnah waljama’ah 1 aliran (Bughyatul Mustarsyidin, hal. 298).
Dalam dunia tasawuf, sebagaimana dinukilkan
dalam Iqadhul Himam fi Syarhil Hikam, hal. 5, para ulama terpecah dalam dua
kelompok utama; ash-shufi ash-shadiq (ulama sufi yang benar) dan ash-shufi
al-kazib (ulama sufi yang dusta). Ulama sufi yang benar adalah mereka yang
mampu mensinergikan amalannya dengan aturan syariat. Sedangkan ulama sufi yang
dusta adalah mereka yang mengabaikan aturan syariat, sebagaimana perkataan
sebagian ulama: “Barang siapa yang mengamalkan fiqh tetapi tidak mengamalkan
tasawuf, maka ia telah fasiq. Barang siapa siapa yang mengamalkan tasawuf,
tetapi tidak mengamalkan fiqih, maka ia telah zindiq. Barang siapa yang
menyinergikan keduanya, maka dialah yang benar.”
Terpilahnya ulama teologi dan tasawuf dalam
beberapa kelompok juga bukan produk sekularisasi, tetapi merupakan “seleksi
alam” berdasarkan interpretasi yang dilakukan terhadap Alquran dan hadits.
Mengaburkan otoritas kelompok masing-masing justru akan mengakibatkan
“kegamangan” umat Islam dan menjadikan semua firqah berada dalam posisi benar,
padahal sebagian firqah tersebut jelas-jelas kesesatannya.
Metode “pembenaran” semua firqah ulama dalam
bidang i’tiqad dan tasawuf merupakan ciri khas kaum Orientalis dalam membahas
persoalan keislaman, sehingga sebagian intelektual muslim “terjebak” dalam paham-paham
sesat yang dibalut oleh label “ulama”. Bahkan metode ini telah merambah pada
ranah pembenaran semua agama, padahal agama yang wajib diyakini kebenarannya
hanyalah Islam, sebagaimana halnya i’tiqad yang wajib diyakini kebenarannya
adalah Ahlussunnah waljama’ah.
Slogan yang mereka dengung-dengungkan dalam
hal ini adalah, “Manusia tidak berhak membenarkan atau menyalahkan golongan
lain, vonis semacam ini hanya milik Tuhan.” Mereka melarang kaum muslimin dari
sikap menyalahkan golongan lain, tetapi pada saat yang sama mereka begitu
leluasa memvonis kolot, fundamentalis, ortodok, radikal dan salah kaprah
terhadap kelompok Islam yang setia berpegang teguh pada tradisi lama yang masih
layak dilestarikan. Aneh, mereka melarang orang lain melakukan sesuatu yang
mereka sendiri sedang melakukannya. Inilah inkonsistensi intelektual
“plin-plan” yang kadang mengklaim dirinya sebagai Ulama, Teungku atau Ustaz.
Fragmentasi mazhab
Di dalam ranah fiqh juga muncul fragmentasi
beberapa mazhab seperti Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan
Mazhab Hanbali. Terbelahnya kelompok ulama ini merupakan implikasi logis dari
keragaman metode ijtihad mereka, bukan merupakan produk sekularisasi. Namun,
perbedaan yang terjadi di antara ulama fiqh tidak bersifat prinsipil. Oleh
sebab itu, kita bebas menentukan Mazhab Fiqh apa yang akan kita anut, selama ia
masih dianggap mu’tabar oleh mayoritas ulama.
Tetapi, alangkah bijaksananya bila untuk
kalangan masyarakat awam, mazhab yang diberlakukan hanya satu, seperti Aceh
yang sudah mengamalkan Mazhab Syafi’i sedari dulu. Hal ini bertujuan agar
mereka tidak terbebani oleh fatwa-fatwa campur aduk yang pada akhirnya
melahirkan mazhab “gado-gado” yang membuat mereka semakin mumang. Jadi,
terminologi ulama harus dipahami secara proporsional. Semoga kita tidak
termasuk umat yang menjadikan ulama dunia (ulama jahat) sebagai panutan.
Wallahu a’lam bishshawab.
* Tgk. Mahfudh Muhammad, MA, Dosen Sekolah
Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Aziziyah Samalanga, Bireuen. Email:
mahfudhmuhammad@gmail.com
Editor : bakri