Sabtu, 19 Januari 2013

Ulama Dunia vs Ulama Akhirat



TERMINOLOGI ulama di kalangan masyarakat Aceh tampaknya masih menyimpan makna yang ambigu. Munculnya istilah ulama dayah, ulama rasional, ulama struktural dan ulama intelektual dalam buku “Resolusi Konflik dalam Islam; Kajian Normatif dan Historis Perspektif Ulama Dayah Aceh” karya Tgk H Ibrahim Badan (Abu Panton) disinyalir oleh sebagian kalangan dapat menjadi suatu indikator terpecahnya ulama Aceh dalam beberapa kelompok yang seharusnya tidak perlu terjadi, karena dapat menyebabkan sentiment yang mengarah ke perang urat saraf.

Hal ini seolah mempertegas asumsi bahwa fenomena “ulama dayah vs ulama kampus” adalah suatu keniscayaan yang tak dapat dihindari di Aceh. Apa yang melatari munculnya konfontrasi ini? Apakah karena ulama dayah bermazhab Syafi’i sedangkan ulama kampus tidak bermazhab Syafi’i?

Dulu, asumsi semacam ini begitu “diimani” oleh banyak kalangan. Namun, seiring berjalannya waktu, `illat (motif) tersebut semakin tidak relevan. Hal ini dikarenakan sebagian ulama bermazhab Syafi’i zaman sekarang (mungkin juga dulu) tidak hanya berada dalam komunitas dayah, tapi mereka juga berkiprah di kampus dan dunia pemerintahan. Bahkan sebagian dayah dewasa ini (seperti MUDI Mesra) juga sudah mendirikan kampus di dalamnya dengan tidak menanggalkan identitas Syafi’iyah-nya.

 Bersifat simbolik
Beberapa klasifikasi ulama di atas bukan merupakan sesuatu yang substantif, tetapi lebih bersifat simbolik yang didasarkan pada masa, tempat, kondisi sosial dan ruang lingkup peranan masing-masing ulama. Tak jarang, seseorang pada pagi harinya menjadi ulama kampus, tetapi pada malam harinya menjadi ulama dayah. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari latar belakang pendidikan mereka.

Klasifikasi ulama yang lebih substantif telah dikemukakan oleh Imam al-Ghazali. Menurutnya, ulama terbagi dua; ulama dunia dan ulama akhirat (Ihya ‘Ulmuddin, juz 1, hal. 58). Ulama dunia adalah ulama yang ‘menjual’ ilmunya untuk ‘membeli’ kemegahan duniawi. Sedangkan ulama akhirat adalah ulama yang ‘menanam’ ilmunya untuk ‘memetik’ kebahagiaan akhirat. Dunia dalam perspektif ulama akhirat hanya sebagai alat (wasail), bukan tujuan (maqashid). Terminologi ulama dunia tampaknya merujuk pada satu sabda Rasulullah saw: “Manusia yang paling berat azabnya di akhirat adalah ulama yang tidak bermanfaat ilmunya” (HR. al-Thabrani).

Berdasarkan hadis tersebut di atas, muncullah istilah ulama su’ (ulama jahat), yakni ulama yang terjerumus dalam “lembah” dunia, seperti Bal’am bin Ba’ura, seorang ulama Bani Israil yang mustajabah doanya. Tetapi kemudian tersesat karena membantu kaumnya untuk mengalahkan Nabi Musa as sebagaimana dijelaskan dalam Alquran, Surat al-A’raf: 175 (Tafsir al-Thabari, juz 13, hal. 262). Sedangkan istilah ulama akhirat diperkuat oleh firman Allah swt: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah, hanyalah para ulama” (QS. Fathir: 27).

Munculnya istilah ulama dunia dan ulama akhirat bukan pengaruh dari sekularisasi, tetapi disebabkan oleh sikap dan tingkah laku mereka yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Menurut saya, justru menafikan klasifikasi para ulama ke dalam beberapa kelompok tertentu yang merupakan produk sekularisasi. Kaum sekuler sengaja menyamarkan sekat-sekat yang terdapat dalam berbagai firqah ulama, sehingga masyarakat awam --bahkan sebagian intelektual muslim-- semakin gamang dalam memilih panutan. Seolah semua ulama bisa diikuti, padahal sebagian dari mereka justru merupakan “musang berbulu ayam”.

Lihatlah bagaimana kaum liberal memproduk fatwa-fatwa yang “menghantam” sebagian hukum-hukum qath’i, seperti ayat-ayat yang berbicara tentang hudud dan warisan. Dalam hal ini, pemikiran mereka juga dianggap sebagai hasil ijtihad ulama. Menyematkan gelar ulama kepada mereka secara mutlak (tanpa idhafah kepada kata dunia) justru merupakan”bom waktu” dalam masyarakat.

 Firqah teologi
Sejarah telah mencatat, bagaimana psywar terjadi di antara 73 firqah teologi dalam dunia Islam. Semua firqah masuk ke dalam neraka kecuali satu, yakni Ahlussunnah waljama’ah (HR. al-Turmuzi). Perincian 73 firqah ini menurut Syaikh ‘Ali bin Abu Bakar bin As-Saqaf ‘Alwi adalah Syi’ah 22 aliran, Khawarij 20 aliran, Mu’tazilah 20 aliran, Murjiah 5 aliran, Najariah 3 aliran, Jabariah 1 aliran, Musyabbihah 1 aliran dan Ahlussunnah waljama’ah 1 aliran (Bughyatul Mustarsyidin, hal. 298).

Dalam dunia tasawuf, sebagaimana dinukilkan dalam Iqadhul Himam fi Syarhil Hikam, hal. 5, para ulama terpecah dalam dua kelompok utama; ash-shufi ash-shadiq (ulama sufi yang benar) dan ash-shufi al-kazib (ulama sufi yang dusta). Ulama sufi yang benar adalah mereka yang mampu mensinergikan amalannya dengan aturan syariat. Sedangkan ulama sufi yang dusta adalah mereka yang mengabaikan aturan syariat, sebagaimana perkataan sebagian ulama: “Barang siapa yang mengamalkan fiqh tetapi tidak mengamalkan tasawuf, maka ia telah fasiq. Barang siapa siapa yang mengamalkan tasawuf, tetapi tidak mengamalkan fiqih, maka ia telah zindiq. Barang siapa yang menyinergikan keduanya, maka dialah yang benar.”

Terpilahnya ulama teologi dan tasawuf dalam beberapa kelompok juga bukan produk sekularisasi, tetapi merupakan “seleksi alam” berdasarkan interpretasi yang dilakukan terhadap Alquran dan hadits. Mengaburkan otoritas kelompok masing-masing justru akan mengakibatkan “kegamangan” umat Islam dan menjadikan semua firqah berada dalam posisi benar, padahal sebagian firqah tersebut jelas-jelas kesesatannya.

Metode “pembenaran” semua firqah ulama dalam bidang i’tiqad dan tasawuf merupakan ciri khas kaum Orientalis dalam membahas persoalan keislaman, sehingga sebagian intelektual muslim “terjebak” dalam paham-paham sesat yang dibalut oleh label “ulama”. Bahkan metode ini telah merambah pada ranah pembenaran semua agama, padahal agama yang wajib diyakini kebenarannya hanyalah Islam, sebagaimana halnya i’tiqad yang wajib diyakini kebenarannya adalah Ahlussunnah waljama’ah.

Slogan yang mereka dengung-dengungkan dalam hal ini adalah, “Manusia tidak berhak membenarkan atau menyalahkan golongan lain, vonis semacam ini hanya milik Tuhan.” Mereka melarang kaum muslimin dari sikap menyalahkan golongan lain, tetapi pada saat yang sama mereka begitu leluasa memvonis kolot, fundamentalis, ortodok, radikal dan salah kaprah terhadap kelompok Islam yang setia berpegang teguh pada tradisi lama yang masih layak dilestarikan. Aneh, mereka melarang orang lain melakukan sesuatu yang mereka sendiri sedang melakukannya. Inilah inkonsistensi intelektual “plin-plan” yang kadang mengklaim dirinya sebagai Ulama, Teungku atau Ustaz.

 Fragmentasi mazhab
Di dalam ranah fiqh juga muncul fragmentasi beberapa mazhab seperti Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hanbali. Terbelahnya kelompok ulama ini merupakan implikasi logis dari keragaman metode ijtihad mereka, bukan merupakan produk sekularisasi. Namun, perbedaan yang terjadi di antara ulama fiqh tidak bersifat prinsipil. Oleh sebab itu, kita bebas menentukan Mazhab Fiqh apa yang akan kita anut, selama ia masih dianggap mu’tabar oleh mayoritas ulama.

Tetapi, alangkah bijaksananya bila untuk kalangan masyarakat awam, mazhab yang diberlakukan hanya satu, seperti Aceh yang sudah mengamalkan Mazhab Syafi’i sedari dulu. Hal ini bertujuan agar mereka tidak terbebani oleh fatwa-fatwa campur aduk yang pada akhirnya melahirkan mazhab “gado-gado” yang membuat mereka semakin mumang. Jadi, terminologi ulama harus dipahami secara proporsional. Semoga kita tidak termasuk umat yang menjadikan ulama dunia (ulama jahat) sebagai panutan. Wallahu a’lam bishshawab. 

* Tgk. Mahfudh Muhammad, MA, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Aziziyah Samalanga, Bireuen. Email: mahfudhmuhammad@gmail.com

Editor : bakri

0 komentar:

Posting Komentar