Oleh
Marzuzak
BULU kuduk
kita merinding. Kita prihatin menatap masa depan anak-anak bangsa di daerah
ini. Betapa tidak, Aceh kini kian terpuruk dalam sektor pendidikan. Sulit
membayangkan, bahwa Aceh kini masuk kategori juru kunci tingkat nasional, baik
kualitas guru, maupun lulusan pendidikan dasar dan menengahnya. Hasil uji
kompetensi guru yang dilaksanakan secara nasional menunjukkan bahwa kualitas
guru kita rata-rata berada pada peringkat 28 dari 33 provinsi di Indonesia.
Sementara,
para lulusan SMA/MA/SMK Aceh yang diterima di perguruan tinggi negeri (PTN)
berada pada peringkat 31 secara nasional. Itu berarti, masa depan anak-anak
bangsa di daerah ini sudah berada pada stadium “lampu merah”, muram dan
memerihatinkan. Bukankah, corak masa depan suatu bangsa, muram atau gemilang
ditentukan oleh kondisi pendidikannya sekarang.
Kenyataan
memprihatinkan itu, membuat julukan miring untuk daerah ini semakin kompleks.
Sebelumnya, Aceh dijuluki sebagai provinsi paling korup nomor 2 di Indonesia,
setelah DKI Jakarta. Kini, dengan anjloknya kualitas pendidikan, Aceh
menyandang julukan daerah “lampu merah” pendidikan di Indonesia.
Sebuah ironi,
memang. Pada satu sisi, pemerintah menggelontorkan dana yang cukup besar.
Beberapa tahun terakhir dana yang digelontorkan untuk sektor pendidikan Aceh,
menembus angka Rp 1 triliun per tahun. Boleh dikatakan bahwa beberapa tahun
terakhir ini, sektor pendidikan menjadi satu primadona pembangunan Aceh. Namun
di sisi lain, dana jumbo itu seolah tidak memengaruhi kinerja pendidikan,
karena kenyataannya sektor pendidikan Aceh semakin melorot tajam, bak terjun
bebas tanpa parasut.
Berarti, itu
mernunjukkan bahwa ada sesuatu yang kurang beres dalam pengelolaan pendidikan
umumnya, khususnya dana pendidikan. Dalam kaitan ini, tidaklah salah, bila
publik selama ini menganggap Dinas Pendidikan, baik provinsi maupun
kabupaten/kota, merupakan area remang-remang yang eksotik --menggoda banyak
orang “bermain” dengan segala kepentingannya.
Permainan itu,
di permukaan terkesan cantik. Namun, dengan kenyataan yang terpampang di atas,
sulit dikatakan para pengelola dan praktisi pendidikan, telah bermain cantik
menyentuh persoalan pendidikan. Konon, pula banyak di antara pemain tidak
menguasai teknis dan lapangan permainan, karena mereka bukan the right man and
the right please. Sebaliknya motto membenahi pendidikan yang sering
dikumandangkan selama ini hanya oratio prodomo, pencitraan dan promosi
untuk menarik perhatian publik.
Kita patut
memberi apresiasi kepada Gubernur Aceh, Zaini Abdullah yang menyatakan
bahwa ke depan Dinas Pendidikan tidak lagi mengelola proyek fisik pendidikan.
Proyek fisik itu akan dikembalikan ke habitatnya, yaitu dinas terkait.
Sebaliknya, Dinas Pendidikan akan fokus pada program peningkatan mutu
pendidikan.
Persoalan
paling mendasar
Laporan Tren
Global versi National Geographic (2008) menyatakan antara lain bahwa di manapun
kita tinggal, pendidikan penting bagi keberhasilan baik dalam menggeluti bidang
usaha atau profesi, maupun sekadar bebas dari kemiskinan. Pernyataan ini,
terasa relevan dengan kondisi Aceh saat ini. Menjelang satu dasawarsa MoU
Helsinki, nyatanya Aceh masih terjebak pada persoalan yang paling mendasar,
yakni ketertinggalan dunia pendidikan.
Efek domino
dari ketertinggalan itu, rakyat Aceh masih terperangkap dalam kantong-kantong
kemiskinan. Bukankah satu tujuan dari MOU Helsinki adalah ingin mengangkat
eksistensi keacehan yang bebas dari belenggu keterbelakangan, kebodohan dan
kemiskinan. Untuk merealisasikan tujuan tersebut tidak ada cara lain yang
paling bijak, kecuali memulai segalanya dengan membenahi dan meningkatkan
kualitas pendidikan.
Upaya
tersebut, tentu, bukan hanya dengan menggelontorkan dana yang besar untuk
membenahi sarana dan prasarana pendidikan, peningkatan kesejahteraan guru, dan
sebagainya. Tetapi juga, menyiapkan tenaga pengelola dan praktisi pendidikan
yang memiliki integritas. “Integritas atau akhlak saat ini semakin penting,”
kata Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina dalam acara peluncuran
gerakan “Sekolah-Unair Mengajar” beberapa waktu yang lalu.
Manusia yang
tidak memiliki integritas dan korup sudah tidak diterima di tingkat dunia.
Negara-negara maju, sudah lama menyingkirkan orang-orang yang tidak berintegritas
dalam pengelolaan perusahaan, konon pula pengelolaan Negara. Sebaliknya,
mereka memilih dan membayar mahal orang-orang profesional yang berintegritas,
sehingga sekecil apapun dana yang digelontorkan dapat
dipertanggungjawabkan untuk mencapai tujuan organisasi yang diamanahkan
kepadanya.
Ironisnya, di
negeri ini, termasuk di Aceh, orang-orang yang tidak berintegritas atau korup
masih “laris manis”. Mereka masih diberikan kepercayaan menduduki
jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan. Karenanya, kita tidak pusing
tujuh keliling mencari kambing hitam, mengapa dana jumbo untuk pendidikan,
nyaris tidak menyentuh akar persoalan pendidikan. Seyogianya, fakta ini memberi
inspirasi kepada semua pemangku kepentingan pendidikan Aceh, agar memilih
orang-orang profesional dan punya integritas di bidang pendidikan.
Profesionalisme
Guru
Kunci
perbaikan mutu pendidikan Aceh, adalah kualitas guru. Sebaik apapun pengelolaan
dan sistem kurikulum pendidikan, tidak ada artinya bila guru tidak berkualitas.
Rendahnya mutu pendidikan, erat kaitannya dengan kualitas guru. Wajarlah, bila
publik selama ini mengarahkan sorot lensanya kepada guru, sebagai biang kerok
utama anjloknya mutu pendidikan Aceh.
Guru yang
berkualitas memiliki kompetensi dan profesionalisme di bidang pendidikan.
Profesionalisme mengandung pengertian kesetiaan menjalankan tugas dengan benar,
tidak amatiran, dan penuh tanggung jawab. Ia merasa malu bila anak didiknya
gagal. Konon, Sutan Takdir Alisyahbana pernah mengatakan: “Saya malu menjadi
guru, karena murid-murid saya mendapat nilai merah. Itu berarti saya tidak
mumpuni dan profesional.”
Uji
kompetensi, seyogianya disambut positif oleh semua guru. Hasil uji kompetensi
itu, bisa menjadi cermin untuk berkaca diri para guru untuk memacu dan
meningkatkan kompetensinya. Bukankah selama ini, guru pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah sering menjadi sorotan publik. Di kalangan
mereka, mengajar sebagai kegiatan profesional masih dipertanyakan.
Kita perlu belajar dari Negara-negara yang sudah maju, yang melaksanakan uji
kompetensi guru serara berkala, dan memberlakukan sertifikasi guru secara
ketat, yang hanya membolehkan orang-orang yang berwenang untuk berdiri di depan
kelas. Tanpa sertifikat, seorang lulusan S3 sekalipun tidak boleh mengajar,
baik di SD, SMP maupun SMA/MA/SMK.
Secara
sederhana, kata kunci profesionalisme guru: berbuat yang terbaik dengan
mengerahkan segenap potensi dan strategi yang dim ilikinya untuk masa depan
anak-anak didiknya yang lebih baik. Imam Al-Ghazali mengatakan, “Guru yang baik
adalah guru yang membuat anak didiknya dapat berdiri di atas pundaknya,
sehingga melihat dunia ini lebih luas daripadanya.”
“Sekali
berarti setelah itu mati,” bunyi pusi Chairil Anwar. Sebagai guru tak apa
berjibaku, berkorban, terkadang menjadi ‘korban’ intervensi, seperti diturunkan
pangkat atau dimutasikan ke sekolah daerah terpencil, karena tidak ‘sepaham’
dengan pengintervensi saat Pilkada berlangsung, tetapi anak-anak didik akan
mengenang, masyarakat akan mengingat, sejarah akan mencatat dan di hari
kebangkitan nanti akan diarak masuk sorga.
* Drs.
Marzuzak SY, MM, Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan, berdom
isili di
Susoh, Aceh Barat Daya (Abdya). Email: marzuzaksyam@yahoo.co.id
0 komentar:
Posting Komentar