Rabu, 02 Januari 2013

Menuju Pendidikan Berkualitas



Oleh Marzuzak

BULU kuduk kita merinding. Kita prihatin menatap masa depan anak-anak bangsa di daerah ini. Betapa tidak, Aceh kini kian terpuruk dalam sektor pendidikan. Sulit membayangkan, bahwa Aceh kini masuk kategori juru kunci tingkat nasional, baik kualitas guru, maupun  lulusan pendidikan dasar dan menengahnya. Hasil uji kompetensi guru yang dilaksanakan secara nasional menunjukkan bahwa kualitas guru kita rata-rata berada pada peringkat 28 dari 33 provinsi di Indonesia. 

Sementara, para lulusan SMA/MA/SMK Aceh yang diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) berada pada peringkat 31 secara nasional. Itu berarti, masa depan anak-anak bangsa di daerah ini sudah berada pada stadium “lampu merah”, muram dan memerihatinkan. Bukankah, corak masa depan suatu bangsa, muram atau gemilang ditentukan oleh kondisi pendidikannya sekarang.

Kenyataan memprihatinkan itu, membuat julukan miring untuk daerah ini semakin kompleks. Sebelumnya, Aceh dijuluki sebagai provinsi paling korup nomor 2 di Indonesia, setelah DKI Jakarta. Kini, dengan anjloknya kualitas pendidikan, Aceh menyandang julukan daerah “lampu merah” pendidikan di Indonesia.

Sebuah ironi, memang. Pada satu sisi, pemerintah menggelontorkan dana yang cukup besar. Beberapa tahun terakhir dana yang digelontorkan untuk sektor pendidikan Aceh, menembus angka Rp 1 triliun per tahun. Boleh dikatakan bahwa beberapa tahun terakhir ini, sektor pendidikan menjadi satu primadona pembangunan Aceh. Namun di sisi lain, dana jumbo itu seolah tidak memengaruhi kinerja pendidikan, karena kenyataannya sektor pendidikan Aceh semakin melorot tajam, bak terjun bebas tanpa parasut. 

Berarti, itu mernunjukkan bahwa ada sesuatu yang kurang beres dalam pengelolaan pendidikan umumnya, khususnya dana pendidikan. Dalam kaitan ini, tidaklah salah, bila publik selama ini menganggap Dinas Pendidikan, baik provinsi maupun kabupaten/kota, merupakan area remang-remang yang eksotik --menggoda banyak orang “bermain” dengan segala kepentingannya.

Permainan itu, di permukaan terkesan cantik. Namun, dengan kenyataan yang terpampang di atas, sulit dikatakan para pengelola dan praktisi pendidikan, telah bermain cantik menyentuh persoalan pendidikan. Konon, pula banyak di antara pemain tidak menguasai teknis dan lapangan permainan, karena mereka bukan the right man and the right please. Sebaliknya motto membenahi pendidikan yang sering dikumandangkan selama ini hanya oratio prodomo, pencitraan  dan promosi untuk menarik perhatian publik.

Kita patut memberi apresiasi kepada Gubernur Aceh, Zaini Abdullah  yang menyatakan bahwa ke depan Dinas Pendidikan tidak lagi mengelola proyek fisik pendidikan. Proyek fisik itu akan dikembalikan ke habitatnya, yaitu dinas terkait. Sebaliknya, Dinas Pendidikan akan fokus pada program peningkatan mutu pendidikan.

Persoalan paling mendasar

Laporan Tren Global versi National Geographic (2008) menyatakan antara lain bahwa di manapun kita tinggal, pendidikan penting bagi keberhasilan baik dalam menggeluti bidang usaha atau profesi, maupun sekadar bebas dari kemiskinan. Pernyataan ini, terasa relevan dengan kondisi Aceh saat ini. Menjelang satu dasawarsa MoU Helsinki, nyatanya Aceh masih terjebak pada persoalan yang paling mendasar, yakni ketertinggalan dunia pendidikan. 

Efek domino dari ketertinggalan itu, rakyat Aceh masih terperangkap dalam kantong-kantong kemiskinan. Bukankah satu tujuan dari MOU Helsinki adalah ingin mengangkat eksistensi keacehan yang bebas dari belenggu keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. Untuk merealisasikan tujuan tersebut tidak ada cara lain yang paling bijak, kecuali memulai segalanya dengan membenahi dan meningkatkan kualitas pendidikan.

Upaya tersebut, tentu, bukan hanya dengan menggelontorkan dana yang besar untuk membenahi sarana dan prasarana pendidikan, peningkatan kesejahteraan guru, dan sebagainya. Tetapi juga, menyiapkan tenaga pengelola dan praktisi pendidikan yang memiliki integritas. “Integritas atau akhlak saat ini semakin penting,” kata Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina dalam acara peluncuran gerakan “Sekolah-Unair Mengajar” beberapa waktu yang lalu.

Manusia yang tidak memiliki integritas dan korup sudah tidak diterima di tingkat dunia. Negara-negara maju, sudah lama menyingkirkan orang-orang yang tidak berintegritas dalam  pengelolaan perusahaan, konon pula pengelolaan Negara. Sebaliknya, mereka memilih dan membayar mahal orang-orang profesional yang berintegritas, sehingga sekecil apapun dana yang digelontorkan  dapat dipertanggungjawabkan untuk mencapai tujuan organisasi yang diamanahkan kepadanya. 

Ironisnya, di negeri ini, termasuk di Aceh, orang-orang yang tidak berintegritas atau korup masih “laris manis”. Mereka masih  diberikan kepercayaan menduduki jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan. Karenanya, kita tidak pusing tujuh keliling mencari kambing hitam, mengapa dana jumbo untuk pendidikan, nyaris tidak menyentuh akar persoalan pendidikan. Seyogianya, fakta ini memberi inspirasi kepada semua pemangku kepentingan pendidikan Aceh, agar memilih orang-orang profesional dan punya integritas di bidang pendidikan.

 Profesionalisme Guru

Kunci perbaikan mutu pendidikan Aceh, adalah kualitas guru. Sebaik apapun pengelolaan dan sistem kurikulum pendidikan, tidak ada artinya bila guru tidak berkualitas. Rendahnya mutu pendidikan, erat kaitannya dengan kualitas guru. Wajarlah, bila publik selama ini mengarahkan sorot lensanya kepada guru, sebagai biang kerok utama anjloknya mutu pendidikan Aceh.

Guru yang berkualitas memiliki kompetensi dan profesionalisme di bidang pendidikan. Profesionalisme mengandung pengertian kesetiaan menjalankan tugas dengan benar, tidak amatiran, dan penuh tanggung jawab. Ia merasa malu bila anak didiknya gagal. Konon, Sutan Takdir Alisyahbana pernah mengatakan: “Saya malu menjadi guru, karena murid-murid saya mendapat nilai merah. Itu berarti saya tidak mumpuni dan profesional.”

Uji kompetensi, seyogianya disambut positif oleh semua guru. Hasil uji kompetensi itu, bisa menjadi cermin untuk berkaca diri para guru untuk memacu dan meningkatkan kompetensinya. Bukankah selama  ini, guru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah sering menjadi sorotan publik. Di kalangan mereka, mengajar sebagai kegiatan profesional masih dipertanyakan.

 Kita perlu belajar dari Negara-negara yang sudah maju, yang melaksanakan uji kompetensi guru serara berkala, dan memberlakukan sertifikasi guru secara ketat, yang hanya membolehkan orang-orang yang berwenang untuk berdiri di depan kelas. Tanpa sertifikat, seorang lulusan S3 sekalipun tidak boleh mengajar, baik di SD, SMP maupun SMA/MA/SMK.

Secara sederhana, kata kunci profesionalisme guru: berbuat yang terbaik dengan mengerahkan segenap potensi dan strategi yang dim ilikinya untuk masa depan anak-anak didiknya yang lebih baik. Imam Al-Ghazali mengatakan, “Guru yang baik adalah guru yang membuat anak didiknya dapat berdiri di atas pundaknya, sehingga melihat dunia ini lebih luas daripadanya.”

“Sekali berarti setelah itu mati,” bunyi pusi Chairil Anwar. Sebagai guru tak apa berjibaku, berkorban, terkadang menjadi ‘korban’ intervensi, seperti diturunkan pangkat atau dimutasikan ke sekolah daerah terpencil, karena tidak ‘sepaham’ dengan pengintervensi saat Pilkada berlangsung, tetapi anak-anak didik akan mengenang, masyarakat akan mengingat, sejarah akan mencatat dan di hari kebangkitan nanti akan diarak masuk sorga.

* Drs. Marzuzak SY, MM, Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan, berdom
isili di Susoh, Aceh Barat Daya (Abdya). Email: marzuzaksyam@yahoo.co.id

0 komentar:

Posting Komentar