Rabu, 02 Januari 2013

Potret Buram Pendidikan Kita



Oleh M. Shabri Abd. Majid

SUMBER daya manusia (SDM) berkualitas yang dihasilkan institusi pendidikan merupakan motor penggerak pembangunan bangsa. Sama halnya dengan dunia pendidikan di Indonesia, institusi pendidikan di Aceh belum mampu melahirkan SDM yang berkualitas dan berkontribusi optimal terhadap pembangunan ekonomi Aceh. Kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan. 

Human Development Report (HDR), United Nation Development Programme (UNDP) melaporkan bahwa pada 2011, peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index) Indonesia meliputi peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala berada di urutan 124 dari 183 negara yang ada di dunia. Kondisi ini jauh berada di bawah Singapura (26), Brunei Darussalam (33), Malaysia (61), Thailand (103), Filipina (112), dan sedikit lebih baik dibandingkan Vietnam (128) dan Myanmar (149). 

Begitu juga untuk Indeks Pembangunan Pendidikan (Education Development Index) untuk semua (education for all) di Indonesia menurun dari peringkat 65 pada 2010 ke peringkat 69 pada 2011. Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report (2011): The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan UNESCO, Indeks Pembangunan Pendidikan Indonesia pada 2008 adalah 0,934 (rangking 69 dari 127 negara). Posisi ini jauh tertinggal dari Brunei Darussalam (peringkat 34) dan Jepang (rangking 1 dunia). Adapun Malaysia berada di peringkat 65, Filipina (85), Kamboja (102), India (107), dan Laos (109). 

Untuk pendidikan tingkat SD, SMP dan SMA, Badan Penelitian dan Pembangunan (Balitbang) Kemdiknas (2003) melaporkan bahwa dari 146.052 SD di Indonesia, hanya 8 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dan dari 20.918 SMP yang ada, hanya 8 sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP). Sementara itu, dari 8.036 SMA, hanya 7 sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). 

Dibandingkan dengan negara Asia lainnya, menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara, berada di bawah Vietnam. Akibat rendahnya kualitas pendidikan, maka Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei (The World Economic Forum Swedia Report, 2000). Indonesia pun hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai leader teknologi dari 53 negara di dunia.

 Sangat memprihatinkan

Sebagai satu provinsi di Indonesia, dunia pendidikan di Aceh juga sarat dengan masalah. Memang kalau dibandingkan dengan pendidikan di 33 provinsi lainnya di Indonesia, indikator tingkat pendidikan penduduk Aceh seperti angka partisipasi kasar (APK), angka melek huruf (AMH), angka rata-rata lama sekolah (ARLS), dan angka partisipasi murni (APM) sudah jauh lebih baik dan bahkan berada di atas level nasional, namun kualitas pendidikan Aceh masih sangat memprihatinkan. 

Di samping itu, pemerintah Aceh juga belum mampu mewujudkan pemerataan pembangunan sektor pendidikan antar kabupaten/kota di Aceh. Rendahnya tingkat APK, APM, ARLS dan APM di sebagian kabupaten/kota di Aceh, khususnya di kabupaten yang baru dimekarkan telah menyebabkan tingkat kemiskinan masyarakat di kawasan tersebut sangat tinggi, yaitu melebihi 20% atau di atas tingkat kemiskinan nasional, 14,44%.

Aceh yang mendapat jatah dana pembangunan nomor tiga terbesar di Indonesia, yaitu Rp 11,9 triliun pada 2010 dan Rp 9,6 triliun pada 2011 (penerima APBD nomor tiga terbesar di Indonesia), namun alokasi minimal 20% dari APBA tersebut untuk memajukan bidang pendidikan belum mampu mendongkrak mutu pendidikan Aceh. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Aceh anjlok dari peringkat 17 pada 2009 ke peringkat 27 pada 2010, salah satunya akibat rendahnya mutu pendidikan di Aceh. 

Berdasarkan data Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Kemdiknas (2012), tingkat kelulusan siswa SMP di Aceh pada 2012 mencapai 99,42% (rangking 21 nasional) dan MTs 99,27% (rangking 26). Kelulusan siswa tingkat SMA jurusan IPA 99,75% (rangking 23) dan SMA jurusan IPS 98,81% (rangking 25 nasional). Tingkat kelulusan siswa MA jurusan IPA 99,78% (rangking 17), MA jurusan IPS 98,21% (rangking 18). Dan, tingkat kelulusan pada jenjang SMK 98,59% (rangking 26) dari 33 provinsi di Indonesia.

Memang bila diukur dari kelulusan Ujian Nasional (UN), peringkat pendidikan Aceh sudah sangat menggembirakan. Pada 2011 lalu, misalnya, kelulusan SMP/MTs mencapai 99,38%, SMA/MA IPA 99,76%, dan SMA/MA IPS mencapai 98,89% dengan rangking 21 dari seluruh provinsi di Indonesia. Namun bila capaian itu kita bandingkan dengan daya saing lulusan terjadi kontradiksi. Rangking nilai yang diperoleh SMA/MA/SMK yang mengikuti SMPTN di berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia pada 2011 untuk IPA menduduki rangking 31 (di bawah Papua), dan untuk IPS menduduki rangking 25.

 Kebijakan strategis

Untuk meningkatkan kualitas pendidikan Aceh, maka Pemerintah Aceh beserta dinas terkait harus mengoptimalkan penggunaan dana pendidikan yang sedemikian besar, mencapai Rp 1,1 triliun pada 2011. Beberapa kebijakan strategis yang patut dipertimbangkan dalam memajukan dunia pendidikan Aceh: Pertama, peningkatan indikator pendidikan Aceh (APM, ARLS, APM, dan APK) tidak berkorelasi positif dengan peningkatan mutu pendidikan di Aceh yang masih sangat rendah (rangking 25 dari 33 provinsi di Indonesia), harus mendapat perhatian serius untuk ditingkatkan; 
 
Kedua, program peningkatan kualifikasi dan mutu tenaga pendidik dan pendistribusian guru berkualitas antarkabupaten/kota yang lebih merata harus menjadi perioritas pembangunan sektor pendidikan Aceh. Upaya ini dilakukan terutama untuk mengurangi kesenjangan tingkat dan mutu pendidikan antar kabupaten/kota di Aceh. Semua penduduk Aceh harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan sekaligus meningkatkan mutunya; 

Ketiga, Pemerintah Aceh, khususnya Dinas Pendidikan harus meningkatkan efisiensi dan transparansi pengelolaan dana pendidikan. Pengelolaan dana pendidikan harus dilakukan secara tranparan, profesional dan tepat sasaran sehingga akan menutup celah korupsi; Keempat, partisipasi murid usia dini pada level pendidikan anak usia dini (PAUD) dan TK di Aceh harus ditingkatkan sehingga dapat menumbuhkan dan memupuk minat belajar mereka sejak kecil hingga pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan; 

Kelima, standar minimum pelayanan pendidikan Aceh harus diperhatikan dan terus ditingkatkan. Dalam hal ini, pemerintah Aceh harus mengadakan berbagai bentuk training dan workshop kepada para tenaga pendidik yang memegang jabatan administrasi untuk meningkatkan kapasitas manajerial skill mereka dalam bidang administrasi pendidikan. 

Semoga tingkat pendidikan di Provinsi Aceh tidak hanya baik dari aspek AMH, ARLS, APM, dan APK, tetapi mutunya juga berada di atas rata-rata pendidikan nasional. Jika tidak, maka sia-sia saja kita memiliki dana besar, tetapi mutunya kurang. 

* Dr. M. Shabri Abd. Majid, M.Ec, Dosen Fakultas Ekonomi dan Program Pascasarjana (PPs) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh. Email: hannanan@gmail.com

0 komentar:

Posting Komentar