Jumat, 01 Februari 2013

Bencana Kebodohan



Oleh Muhammad Yusran Hadi

MUSIBAH dan fitnah terbesar bagi umat ini adalah kebodohan. Sedang nikmat terbesar adalah ilmu akan Alquran dan Sunnah sesuai pemahaman salaful ummah (pendahulu umat). Kebodohan akan ilmu syariat menyebabkan fitnah dan perpecahan umat. Selain itu, kebodohan merupakan sumber bencana munculnya ajaran sesat. Banyaknya penyimpangan agama di tengah masyarakat, baik dalam persoalan aqidah maupun ibadah, terjadi akibat kebodohan atau minimnya pengetahuan mereka terhadap syariat Islam.

Kebodohan umat ini dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam dengan cara menyebarkan racun dan virus kesesatan di tengah umat Islam. Akibatnya, timbulah berbagai penyimpangan agama dalam persoalan tauhid dan akidah berupa pemurtadan, ajaran sesat dan syirik. Begitu pula penyimpangan dalam ibadah berupa praktik bid’ah (mengada-adakan persoalan yang baru dalam agama tanpa ada petunjuk dari Rasulullah saw).

 Pemurtadan dan ajaran sesat
Pendangkalan akidah berupa pemurtadan dan ajaran sesat adalah target utama musuh-musuh Islam, baik dilakukan pihak luar maupun dari dalam Islam. Upaya pemurtadan gencar dilakukan oleh para misionaris dan orientalis. Dari pihak dalam, upaya penyebaran ajaran sesat dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya muslim  atau berkedok Islam dengan menyebarkan pemikiran dan pengamalan yang yang menyimpang dari syariat Islam (Alquran dan Sunnah).

Mengenai upaya dan misi pemurtadan yang dilakukan oleh musuh-musuh luar Islam, jauh-jauh hari Alquran telah memperingatkan umat Islam atas makar mereka: “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka..” (QS. Al-Baqarah: 120). Bila umat Islam tidak punya ilmu yang mapan terhadap syariat Islam, tentu akan mudah digoyahkan iman mereka dan menjadi murtad dengan penghargaan yang menggiurkan dari para misionaris berupa harta, wanita, dan jabatan/pangkat.

Kebodohan dapat mengakibatkan bencana kesesatan. Allah swt berfirman: “Dan di antara manusia (ada) yang mempergunakan percakapan kosong untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan mendapat azab yang menghinakan.” (QS. Luqman: 6). Allah juga berfirman: “Dan sungguh, banyak yang menyesatkan orang dengan keinginannya tanpa dasar pengetahuan.” (QS. Al-An’am: 119).

Oleh karena itu, Allah swt melarang kita untuk mengikuti sesuatu tanpa ilmu, terlebih lagi dalam persoalan aqidah dan ibadah yang sudah qaht’i (baku) dan jelas. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung jawabannya.” (Al-Isra’: 36).

Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari manusia begitu saja, akan tetapi mencabut ilmu dengan dimatikan para ulama. Jika tidak ada lagi seorang yang alim, maka orang-orang memilih pemimpin yang bodoh. Maka ketika mereka ditanya, merekapun berfatwa tanpa dasar ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Praktik syirik di tengah masyarakat terjadi akibat tidak memahami tauhid secara benar. Selama ini perbuatan syirik hanya dipahami sebatas menyembah selain Allah seperti menyembah patung, pohon, api, binatang dan sebagainya. Padahal, meminta pertolongan kepada makhluk seperti benda-benda keramat, kuburan-kuburan wali, dan lainnya, memakai ajimat dan melakukan tradisi-tradisi yang diyakini dapat memberi berkah atau menolak bala, termasuk syirik.

Allah swt mengecam perbuatan tersebut: “Katakan (Muhammad), pantaskah kamu mengambil pelindung-pelindung selain Allah, padahal mereka tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudharat bagi dirinya sendiri?”( QS. Ar-Ra’d: 16). Bahkan, Allah memvonis perbuatan tersebut sebagai kesesatan sebagaimana firmanNya: “Dia menyeru kepada selain Allah sesuatu yang tidak dapat mendatangkan bencana dan tidak (pula) memberi manfaat kepadanya. Itulah kesesatan yang jauh.” (QS. Al-Hajj: 12).

Sepatutnya, pemahaman tauhid yang benar adalah hanya Allahlah yang berhak disembah dan dimohon pertolongan, sebagaimana firmanNya: “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 5). Begitu pula, meyakini hanya Allahlah yang dapat mendatang manfaat dan menolak bala. Tidak seorang pun yang mampu mendatangkan manfaat dan menolak bala, termasuk Nabi saw. Allah berfirman: “Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak punya kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudharat bagi diriku kecuali apa yang dikehendaki Allah..” (QS. Al-A’raf: 188).

Selain itu, perbuatan bid’ah pun ikut merajalela di tengah masyarakat akibat tidak memahami cara ibadah yang benar yakni sesuai dengan Sunnah (petunjuk) Rasulullah saw. Padahal bid’ah temasuk dosa besar dan dikecam dalam agama, bahkan divonis sesat oleh Rasulullah saw sesuai dengan sabda beliau: “Jauhilah oleh kamu perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah. Dan sesungguhnya setiap bid’ah itu adalah kesesatan.” (HR. Abu Daud dan at-Tirmizi).

Dalam riwayat yang lain: “Seburuk-buruk urusan adalah yang diada-adakan dalam agama, dan setiap yang diada-adakan dalam agama itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan itu masuk kedalam neraka.” (HR Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah). Celakanya lagi, ibadah yang dikerjakan tanpa petunjuk Rasullah saw tidak akan diterima Allah, sesuai dengan sabda Rasulullah saw: “Barang siapa yang mengerjakan suatu amal ibadah yang tidak berdasarkan petunjuk kami, maka amalnya ditolak.” (HR. Muslim).

Belajar dari ulama
Obat kebodohan adalah ilmu. Untuk mengantisipasi dan memberantas ajaran sesat maka perlu ilmu (pemahaman) yang baik dan benar tentang syariat Islam dengan mempelajari ilmu syar’i (agama) dari para ulama sesuai dengan perintah Allah swt: “...Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43 dan Al-Anbiya: 7). Rasulullah saw bersabda: “...Dan sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi..” (HR. Abu Daud dan at-Tirmizi). Para Nabi tidak mewariskan harta, namun ilmu.

Ilmu syari adalah ilmu yang diturunkan oleh Allah kepada RasulNya berupa keterangan dan petunjuk. Dengan ungkapan lain, ilmu syar’i adalah ilmu yang digunakan untuk memahami syariat Islam. Yang termasuk ilmu syar’i yaitu Ilmu Tauhid, Akidah, Fikih, Ushul Fiqh, Maqashid as-Syariah, Tafsir, Hadis, Akhlak, Bahasa Arab dan ilmu lainnya yang digunakan sebagai alat untuk memahami Alquran dan Sunnah. Ilmu inilah yang wajib dipelajari oleh setiap muslim dan dipuji pemiliknya dalam Alquran dan Sunnah.

Mengamalkan Alquran dan Sunnah adalah syarat mutlak untuk mencapai kebahagian dan keselamatan di dunia dan di akhirat. Rasulullah saw bersabda: “Aku tinggalkan kepada kamu sekalian dua hal, jika kamu berpegang teguh kepada keduanya niscaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu al-Quran dan Sunnah Rasul saw.” (HR. At-Tirmizi). Untuk memahami dan mengamalkan ajaran Alquran dan Sunnah dengan benar, maka diperlukan seperangkat ilmu-ilmu syariat sebagaimana disebutkan di atas.

Ilmu syar’i berperan untuk menangkal berbagai penyimpangan dalam agama seperti ajaran sesat, syirik, bid’ah dan khurafat. Sebab, dengan ilmu syar’i kita dapat memahami syariat Islam dengan benar sesuai dengan petunjuk Alquran dan Sunnah. Dengan ilmu syar’i kita dapat bertauhid kepada Allah dengan benar dan mengetahui aqidah yang benar. Begitu pula dengan ilmu syar’i kita dapat mengetahui hal-hal yang dapat membatalkan tauhid dan keimanan kita. Tanpa ilmu, seseorang akan mudah terjerumus ke dalam kesesatan.

Oleh karena itu, kebutuhan manusia terhadap ilmu syar’i sangat mendesak, sama halnya seperti kebutuhan manusia terhadap makanan dan minuman. Tanpa makan dan minum, manusia tidak dapat hidup. Begitu pula dengan ilmu syar’i. Tanpa ilmu syar’i manusia tidak dapat membedakan mana yang benar dan yang salah, yang petunjuk dan yang sesat serta yang diperintah dan yang dilarang. Maka, ilmu itu adalah cahaya. Maknanya, ilmu itu petunjuk dan penerang hidup manusia, baik urusan dunia maupun akhirat, agar tidak tersesat.

* Muhammad Yusran Hadi, Lc, MA, Kandidat doktor (Ph.D) Ushul Fiqh, International Islamic University Malaysia (IIUM). Email: yusranhadi@yahoo.com

Editor : bakri

0 komentar:

Posting Komentar