Selasa, 26 Februari 2013

GENSAN Menyoal Kesehatan Jiwa


Indonesia kini dihadapkan pada pekerjaan rumah yang cukup berat terkait kesehatan jiwa warganya. Berbagai kondisi psikososial yang menjadi indikator rendahnya tingkat kesehatan jiwa masyarakat khususnya yang berkaitan dengan karakteristik kehidupan di perkotaan (urban mental health) telah mengalami peningkatan yang cukup massif beberapa waktu belakangan ini.

Fenomena yang cukup menarik perhatian khalayak adalah naiknya tren kekerasan di berbagai wilayah di negara kita, baik fisik maupun nonfisik. Bentrok antarpreman, politisi, antaraparat, warga dengan aparat, warga dengan swasta, perang antardesa, hingga bentrok dengan isu agama. Terakhir, mencuat kekerasan dalam dunia pendidikan yakni tawuran pelajar yang berakhir dengan terbunuhnya sejumlah siswa dengan sia-sia dalam waktu yang berdekatan.

Menurut Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Diah Setia Utami, dalam sebuah kesempatan di Jakarta disebutkan bahwa tingginya beban ekonomi, makin lebarnya kesenjangan sosial, serta ketidakpastian situasi sosial politik membuat masyarakat menderita depresi. Beratnya beban jiwa menimbulkan pemikiran irasional dan mewujud dalam perilaku yang penuh dengan kekerasan, mulai dari tawuran, perundungan (bullying), kekerasan dalam rumah tangga, pembunuhan, hingga bunuh diri.

 Survei kebahagiaan
Terkait perkembangan kesehatan jiwa masyarakat Indonesia saat ini, menarik untuk dicermati hasil survei termutakhir dari TWHR (The World Happiness Report/Laporan Peringkat Kebahagiaan Dunia oleh PBB) yang mengukur seberapa tinggi tingkat kebahagiaan penduduk dari negara-negara yang disurvei.

Dalam Laporan TWHR bertebal 158 halaman yang dipublikasi Columbia University’s Earth Institute, disebutkan bahwa Indonesia pada 2012 lalu berada pada peringkat ke-83. Di antara sesama negara ASEAN, peringkat kebahagiaan warga Indonesia kalah jauh dari warga Singapura yang memiliki peringkat kebahagiaan yang paling baik dengan peringkat ke-33 dan diikuti oleh Malaysia yang ada pada peringkat 51.

Adapun empat negara dengan peringkat teratas pertama dalam peringkat kebahagiaan dunia diduduki oleh Denmark, Norwegia, Finlandia dan Belanda dengan segala fasilitas dan jaminan kesejahteraan yang dapat dirasakan oleh para warganya (www.huffingtonpost.com).

Pemeringkatan dalam TWHR didasarkan pada apa yang disebut dengan “life evaluation score” dengan skala dari 0-10 yang mengukur kebahagiaan dari beragam aspek kehidupan dari mulai kesehatan warga, keluarga, jaminan kerja, kebebasan berpolitik, tingkat korupsi pemerintahan, dan aspek lain yang terkait. Aspek-aspek kehidupan yang menjadi dasar atas terciptanya kesehatan jiwa pada seluruh warga di setiap negara. 

Menurut Kementerian Kesehatan, kesehatan jiwa didefinisikan sebagai perasaan sehat dan bahagia serta mampu menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.

Senada dengan itu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun memberi batasan kesehatan dengan menyatakan bahwa kesehatan individu tidak hanya bergantung pada tiadanya penyakit jasmaniah semata tetapi juga keseimbangan psikologis dan fungsi sosialnya juga. “Health is a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity”.

Dari definisi kesehatan jiwa dan peringkat kebahagiaan warga Indonesia menurut hasil survei TWHR oleh PBB di atas kita dapat menyebutkan bahwa pembangunan yang dikelola oleh pemerintah saat ini masih jauh dari kata berhasil dalam upaya mewujudkan kesejahteraan kesehatan jiwa warganya.

Memperkuat kesimpulan di atas, dikutip dari media Gatra online, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nova Riyanti Yusuf menyatakan bahwa samoai saat ini pemerintah masih menganaktirikan kesehatan jiwa dibanding kesehatan fisik. Salah satu buktinya antara lain jumlah anggaran untuk kesehatan jiwa yang dialokasikan oleh pemerintah setiap tahunnya sangat kecil.

Data lain diungkapkan oleh Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, Tun Kurniasih Bastaman di satu media yang menyebutkan bahwa dari 9.000 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Indonesia, hanya 70 puskesmas yang memberikan akses layanan kesehatan jiwa. Padahal, pemahaman tentang kesehatan jiwa di masyarakat dan kesiapan puskesmas menjadi ujung tombak layanan kesehatan jiwa.

 Perhatian lebih
John Helliwell, Richard Layard dan Jeffrey Sachs, co-editor laporan TWHR di laman www.huffingtonpost.com menyebutkan, publikasi laporan kebahagiaan dunia ditujukan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah dari negara-negara yang disurvei, bahwa ukuran kebahagiaan dan kesejahteraan warga negara itu jangan hanya diukur secara kuantitatif oleh tingkat pendapatan nasional atau berupa produk nasional bruto (PNB) semata, tetapi juga ditentukan oleh faktor lain yang melibatkan banyak unsur kualitatifnya.

Apa saja menurut mereka yang harus mendapatkan perhatian lebih daripada hanya sekadar fokus pada aspek pembangunan ekonomi semata? Aspek kesempatan dan kesejahteraan kerja, adanya komunitas atau rukun warga yang solid, saling percaya dan menghormati, serta pemerintahan yang mampu mewujudkan kebijakan yang bersih, terbuka dan partisipatif, memperbaiki kesehatan jasmani dan rohani warga, concern atas kehidupan keluarga, dan mewujudkan pemerataan pendidikan untuk semua adalah aspek-aspek yang harus menjadi perhatian lebih dalam realisasi kebijakan pemerintah.

Untuk mengawal keterwujudan aspek-aspek di atas yang mencakup wilayah wewenang eksekutif, usulan banyak pihak terkait pentingnya menghidupkan kembali UU Kesehatan Jiwa di samping UU Kesehatan yang telah ada merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi di wilayah legislasi. 

Negara kita sejatinya sempat mempunyai UU yang menjadi payung hukum Kesehatan Jiwa, yakni UU No.3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa. Namun, dengan alasan secara substansi sudah terintegrasi dalam UU Kesehatan No.3 Tahun 1992 yang selanjutnya diganti kembali dengan UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 maka otomatis negara kita tidak lagi memiliki UU Kesehatan Jiwa. Padahal, negara-negara yang telah maju dalam bidang kesehatannya pun seperti Jepang, Cina dan Korea telah memiliki UU khusus yang menjadi payung hukum Kesehatan Jiwa.

Oleh Purnama Sidik
* Purnama Sidik, Praktisi Psikologi Pendidikan.
email:purnamasidik_garut@yahoo.com

Editor : bakri

0 komentar:

Posting Komentar