Indonesia
kini dihadapkan pada pekerjaan rumah yang cukup berat terkait kesehatan jiwa
warganya. Berbagai kondisi psikososial yang menjadi indikator rendahnya tingkat
kesehatan jiwa masyarakat khususnya yang berkaitan dengan karakteristik
kehidupan di perkotaan (urban mental health) telah mengalami peningkatan yang
cukup massif beberapa waktu belakangan ini.
Fenomena
yang cukup menarik perhatian khalayak adalah naiknya tren kekerasan di berbagai
wilayah di negara kita, baik fisik maupun nonfisik. Bentrok antarpreman,
politisi, antaraparat, warga dengan aparat, warga dengan swasta, perang
antardesa, hingga bentrok dengan isu agama. Terakhir, mencuat kekerasan dalam
dunia pendidikan yakni tawuran pelajar yang berakhir dengan terbunuhnya
sejumlah siswa dengan sia-sia dalam waktu yang berdekatan.
Menurut
Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Diah Setia Utami, dalam
sebuah kesempatan di Jakarta disebutkan bahwa tingginya beban ekonomi, makin
lebarnya kesenjangan sosial, serta ketidakpastian situasi sosial politik
membuat masyarakat menderita depresi. Beratnya beban jiwa menimbulkan pemikiran
irasional dan mewujud dalam perilaku yang penuh dengan kekerasan, mulai dari
tawuran, perundungan (bullying), kekerasan dalam rumah tangga, pembunuhan,
hingga bunuh diri.
Survei kebahagiaan
Terkait
perkembangan kesehatan jiwa masyarakat Indonesia saat ini, menarik untuk
dicermati hasil survei termutakhir dari TWHR (The World Happiness
Report/Laporan Peringkat Kebahagiaan Dunia oleh PBB) yang mengukur seberapa tinggi
tingkat kebahagiaan penduduk dari negara-negara yang disurvei.
Dalam
Laporan TWHR bertebal 158 halaman yang dipublikasi Columbia University’s Earth
Institute, disebutkan bahwa Indonesia pada 2012 lalu berada pada peringkat
ke-83. Di antara sesama negara ASEAN, peringkat kebahagiaan warga Indonesia
kalah jauh dari warga Singapura yang memiliki peringkat kebahagiaan yang paling
baik dengan peringkat ke-33 dan diikuti oleh Malaysia yang ada pada peringkat
51.
Adapun
empat negara dengan peringkat teratas pertama dalam peringkat kebahagiaan dunia
diduduki oleh Denmark, Norwegia, Finlandia dan Belanda dengan segala fasilitas
dan jaminan kesejahteraan yang dapat dirasakan oleh para warganya
(www.huffingtonpost.com).
Pemeringkatan
dalam TWHR didasarkan pada apa yang disebut dengan “life evaluation score”
dengan skala dari 0-10 yang mengukur kebahagiaan dari beragam aspek kehidupan
dari mulai kesehatan warga, keluarga, jaminan kerja, kebebasan berpolitik,
tingkat korupsi pemerintahan, dan aspek lain yang terkait. Aspek-aspek
kehidupan yang menjadi dasar atas terciptanya kesehatan jiwa pada seluruh warga
di setiap negara.
Menurut
Kementerian Kesehatan, kesehatan jiwa didefinisikan sebagai perasaan sehat dan
bahagia serta mampu menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang lain
sebagaimana adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang
lain.
Senada
dengan itu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun memberi batasan kesehatan dengan
menyatakan bahwa kesehatan individu tidak hanya bergantung pada tiadanya
penyakit jasmaniah semata tetapi juga keseimbangan psikologis dan fungsi
sosialnya juga. “Health is a state of complete physical, mental and social
well-being and not merely the absence of disease or infirmity”.
Dari
definisi kesehatan jiwa dan peringkat kebahagiaan warga Indonesia menurut hasil
survei TWHR oleh PBB di atas kita dapat menyebutkan bahwa pembangunan yang
dikelola oleh pemerintah saat ini masih jauh dari kata berhasil dalam upaya
mewujudkan kesejahteraan kesehatan jiwa warganya.
Memperkuat
kesimpulan di atas, dikutip dari media Gatra online, Wakil Ketua Komisi IX DPR
RI, Nova Riyanti Yusuf menyatakan bahwa samoai saat ini pemerintah masih
menganaktirikan kesehatan jiwa dibanding kesehatan fisik. Salah satu buktinya
antara lain jumlah anggaran untuk kesehatan jiwa yang dialokasikan oleh
pemerintah setiap tahunnya sangat kecil.
Data
lain diungkapkan oleh Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa
Indonesia, Tun Kurniasih Bastaman di satu media yang menyebutkan bahwa dari
9.000 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Indonesia, hanya 70 puskesmas
yang memberikan akses layanan kesehatan jiwa. Padahal, pemahaman tentang
kesehatan jiwa di masyarakat dan kesiapan puskesmas menjadi ujung tombak
layanan kesehatan jiwa.
Perhatian lebih
John
Helliwell, Richard Layard dan Jeffrey Sachs, co-editor laporan TWHR di laman
www.huffingtonpost.com menyebutkan, publikasi laporan kebahagiaan dunia
ditujukan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah dari negara-negara yang
disurvei, bahwa ukuran kebahagiaan dan kesejahteraan warga negara itu jangan
hanya diukur secara kuantitatif oleh tingkat pendapatan nasional atau berupa
produk nasional bruto (PNB) semata, tetapi juga ditentukan oleh faktor lain
yang melibatkan banyak unsur kualitatifnya.
Apa
saja menurut mereka yang harus mendapatkan perhatian lebih daripada hanya
sekadar fokus pada aspek pembangunan ekonomi semata? Aspek kesempatan dan
kesejahteraan kerja, adanya komunitas atau rukun warga yang solid, saling
percaya dan menghormati, serta pemerintahan yang mampu mewujudkan kebijakan
yang bersih, terbuka dan partisipatif, memperbaiki kesehatan jasmani dan rohani
warga, concern atas kehidupan keluarga, dan mewujudkan pemerataan pendidikan
untuk semua adalah aspek-aspek yang harus menjadi perhatian lebih dalam
realisasi kebijakan pemerintah.
Untuk
mengawal keterwujudan aspek-aspek di atas yang mencakup wilayah wewenang
eksekutif, usulan banyak pihak terkait pentingnya menghidupkan kembali UU
Kesehatan Jiwa di samping UU Kesehatan yang telah ada merupakan sebuah
keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi di wilayah legislasi.
Negara
kita sejatinya sempat mempunyai UU yang menjadi payung hukum Kesehatan Jiwa,
yakni UU No.3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa. Namun, dengan alasan secara substansi
sudah terintegrasi dalam UU Kesehatan No.3 Tahun 1992 yang selanjutnya diganti
kembali dengan UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 maka otomatis negara kita tidak
lagi memiliki UU Kesehatan Jiwa. Padahal, negara-negara yang telah maju dalam
bidang kesehatannya pun seperti Jepang, Cina dan Korea telah memiliki UU khusus
yang menjadi payung hukum Kesehatan Jiwa.
Oleh Purnama Sidik
*
Purnama Sidik, Praktisi Psikologi Pendidikan.
email:purnamasidik_garut@yahoo.com
Editor
: bakri
0 komentar:
Posting Komentar