Malam
lebih memilih melepas baju hangatnya saat tubuhnya merasakan gerah yang tak
biasanya.
“Airrr
… aiiirrr … ” teriak salah seorang warga.
“Air
laut pasang!” sahut yang lain.
“Cepat
pergi, Nak! Ikut sama bang Pilo ke tempat yang lebih tinggi” ujar pak Muzzaki,
ayah Wildan.
Wildan
yang saat itu baru menapaki usia tujuh tahun, menangis dan tak mau pergi.
Ibundanya- Azirah, dengan sigap menggendong dan menyerahkannya pada bang Pilo-
adiknya, untuk segera pergi membawa Wildan. Sementara ia sendiri beserta
suaminya lebih memilih untuk bertahan. Menunggu kemurahan Tuhan. Menarik
kembali ombak-Nya atau setidaknya mengecilkan volume ketinggiannya agar tidak
sampai ke rumahnya.
“Huaaa
… Wildan tak mau ikut. Hiksss … ayah bunda!” jerit Wildan memecah kegelapan.
“Sudah
tak usah pedulikan! Cepat bawa dia pergi!” pinta pak Muzzaki
“Hiksss
… iya mumpung air laut belum sampai ke sini. Naaak … pergilah!”
Akhirnya
Pilo membawa Wildan menaiki sepeda motornya, pergi ke tempat yang lebih
tinggi. Ia tak sendirian. Ada ratusan orang yang sama-sama berjuang
menyelamatkan diri dari gempuran ombak Tsunami.
Perasaan
linglung bin bingung membahana. Menyelimuti hati para warga yang ditimpa
malapetaka. Dalam keadaan seperti itu, ada orang berlari-lari tanpa busana;
yang menggendong boneka yang disangkanya anaknya; anak-anak yang berteriak
pekak memanggil ayah ibundanya atau sebaliknya dan yang berlari-lari mengitari
rumahnya karena bingung mau lari kemana.
Sekiranya
kemurahan Tuhan lah yang menyelamatkan orang-orang yang diberi kesadarannya.
Atau orang-orang yang memang diberi ganjaran syahid-Nya lah yang meninggal
dalam kehendak-Nya.
***
“Ayaaah
… bundaaa … hiksss …” rengek Wildan.
Di
atas bebukitan, isak tangis tak habis-habis. Tak terkikis. Meski mereka selamat,
tapi ayah, ibu, anak, kakak, adik, paman, bibi, cucu, kakek, nenek, keponakan
dan saudara mereka tidak.
Gulungan
ombak begitu dahsyat. Terdengar tamparannya melabrak apa saja yang ada di
depannya. Menghanyutkan teriakan-teriakan. Menenggelamkan rintih dan kesakitan.
Dataran
rendah, tempat bermukim rumah-rumah, musnah. Hilang entah. Seperti menjadi
tempat asing dalam sebuah cerita. Negeri antah berantah.
“Bang,
Wildan pengin ketemu ayah sama bunda, hiks …”
“Iya.
Nanti abang cari ayah bundamu, Nak. Bersabarlah …”
***
Keesokan
paginya.
Orang-orang
mulai turun ke bawah. Menengok kembali sisa-sisa kehidupannya. Mencari keluarga
yang tak sempat ia bawa. Berharap mereka selamat dengan penjagaan tangan-Nya.
Menggenggam keyakinan di antara bara kenyataan situasi seperti itu memang
musykil adanya. Ah, tawakkal berserah diri saja itu tak cukup membendung
suasana duka.
Melihat
dengan mata kepala mereka sendiri-sendiri, keluarga dan sanak saudara terbujur
kaku. Diam kelu. Terjejer rapi di setiap jengkal tanah paluh. Seakan mereka
sengaja diam setelah semalam Tuhan mengabarkan pintu surga bakal dibuka. Untuk
mereka saja, yang tidak lari dan tetap berdiam diri.
Bang
Pilo mendobrak pintu depan rumah dan mendapati ayah bunda-nya Wildan sama
persis dengan orang-orang yang terjejer rapi di luar. Diam.
Wildan
terus menangis. Guncangan tangan mungilnya tak sanggup membuat ayah bundanya
mau bicara. Tetap terdiam.
“Nak,
masih ada abang … hiksss …” bisik Pilo sambil memeluk Wildan.
_end_
bumiayu, 26 des 12
#mengenang
tragedi Tsunami Aceh 26 Des 2004
allahumaghfirlahum,
warhamhum, wa’afini wa’fuanhum …
0 komentar:
Posting Komentar