Selasa, 25 Desember 2012

ombak, kau bawa kemana Ayah Bunda ?



Malam lebih memilih melepas baju hangatnya saat tubuhnya merasakan gerah yang tak biasanya.
“Airrr … aiiirrr … ” teriak salah seorang warga.
“Air laut pasang!” sahut yang lain.
“Cepat pergi, Nak! Ikut sama bang Pilo ke tempat yang lebih tinggi” ujar pak Muzzaki, ayah Wildan.
Wildan yang saat itu baru menapaki usia tujuh tahun, menangis dan tak mau pergi. Ibundanya- Azirah, dengan sigap menggendong dan menyerahkannya pada bang Pilo- adiknya, untuk segera pergi membawa Wildan. Sementara ia sendiri beserta suaminya lebih memilih untuk bertahan. Menunggu kemurahan Tuhan. Menarik kembali ombak-Nya atau setidaknya mengecilkan volume ketinggiannya agar tidak sampai ke rumahnya.
“Huaaa … Wildan tak mau ikut. Hiksss … ayah bunda!” jerit Wildan memecah kegelapan.
“Sudah tak usah pedulikan! Cepat bawa dia pergi!” pinta pak Muzzaki
“Hiksss … iya mumpung air laut belum sampai ke sini. Naaak … pergilah!”
Akhirnya Pilo membawa Wildan menaiki sepeda motornya, pergi ke tempat yang lebih tinggi.  Ia tak sendirian. Ada ratusan orang yang sama-sama berjuang menyelamatkan diri dari gempuran ombak Tsunami.
Perasaan linglung bin bingung membahana.  Menyelimuti hati para warga yang ditimpa malapetaka. Dalam keadaan seperti itu, ada orang berlari-lari tanpa busana; yang menggendong boneka yang disangkanya anaknya; anak-anak yang berteriak pekak memanggil ayah ibundanya atau sebaliknya dan yang berlari-lari mengitari rumahnya karena bingung mau lari kemana.
Sekiranya kemurahan Tuhan lah yang menyelamatkan orang-orang yang diberi kesadarannya. Atau orang-orang yang memang diberi ganjaran syahid-Nya lah yang meninggal dalam kehendak-Nya.
***
“Ayaaah … bundaaa … hiksss …” rengek Wildan.
Di atas bebukitan, isak tangis tak habis-habis. Tak terkikis. Meski mereka selamat, tapi ayah, ibu, anak, kakak, adik, paman, bibi, cucu, kakek, nenek, keponakan dan  saudara mereka tidak.
Gulungan ombak begitu dahsyat. Terdengar tamparannya melabrak apa saja yang ada di depannya. Menghanyutkan teriakan-teriakan. Menenggelamkan rintih dan kesakitan.
Dataran rendah, tempat bermukim rumah-rumah, musnah. Hilang entah. Seperti menjadi tempat asing dalam sebuah cerita. Negeri antah berantah.
“Bang, Wildan pengin ketemu ayah sama bunda, hiks …”
“Iya. Nanti abang cari ayah bundamu, Nak. Bersabarlah …”
***
Keesokan paginya.
Orang-orang mulai turun ke bawah. Menengok kembali sisa-sisa kehidupannya. Mencari keluarga yang tak sempat ia bawa. Berharap mereka selamat dengan penjagaan tangan-Nya. Menggenggam keyakinan di antara bara kenyataan situasi seperti itu memang musykil adanya. Ah, tawakkal berserah diri saja itu tak cukup membendung suasana duka.
Melihat dengan mata kepala mereka sendiri-sendiri, keluarga dan sanak saudara terbujur kaku. Diam kelu. Terjejer rapi di setiap jengkal tanah paluh. Seakan mereka sengaja diam setelah semalam Tuhan mengabarkan pintu surga bakal dibuka. Untuk mereka saja, yang tidak lari dan tetap berdiam diri.
Bang Pilo mendobrak pintu depan rumah dan mendapati ayah bunda-nya Wildan sama persis dengan orang-orang yang terjejer rapi di luar. Diam.
Wildan terus menangis. Guncangan tangan mungilnya tak sanggup membuat ayah bundanya mau bicara. Tetap terdiam.
“Nak, masih ada abang … hiksss …” bisik Pilo sambil memeluk Wildan.
_end_
bumiayu, 26 des 12
#mengenang tragedi Tsunami Aceh 26 Des 2004
allahumaghfirlahum, warhamhum, wa’afini wa’fuanhum …

0 komentar:

Posting Komentar