Orang tua mempunyai peranan yang
sangat besar sekali terhadap perkembangan diri seseorang remaja. Hal ini
disebabkan karena orang tua memiliki banyak waktu untuk mengenal perilaku
anaknya dan orang tua yang paling dekat dengan remaja. Hampir sebagian besar
waktu remaja bersama dengan orang tua, sebab waktu di sekolah sebatas jam
belajar, selain itu waktunya banyak dihabiskan di rumah bersama orang tuanya.
Sikap orang tua terhadap remaja akan
sangat mempengaruhi bagaimana seorang remaja itu bersikap dalam menjalani
kehidupannya sehari-hari. Orang tua yang bersikap otoriter menyukai hal-hal
yang jelas dan tidak ambiguous. Jadi setiap hukuman atau disiplin tidak
dicarikan dengan kelembutan, penerimaan, dan alasan. Tingkah laku orang tua ini
dapat memciptakan suatu konsep diri yang menekankan bagi anak tunagrahita,
bahwa dia sangat kurang dapat diterima, berperilaku dan bertampang buruk, dan
tindakannya tidak di setujui oleh orang tua atau juga oleh orang-orang lainnya.
Respon-respon dari anak yang orang
tuanya bersikap otoriter adalah lebih intens dibandingkan dengan respon-respon
dari anak yang orang tuanya tidak otoriter. Karena rasa frustrasi dari konsep
dirinya yang sedang berkembang, bingung, dan umumnya berorientasi negatif
ditambahkan kepada tingkat dorongan yang biasa. Remaja seperti itu biasanya
mengembangkan pengharapan terhadap hukuman yang digeneralisasikan secara meluas
dalam situasi yang baru. Akibatnya pada diri remaja akan timbul suatu kecemasan
dan kegelisahan. Jika dibiarkan berlarut tentu akan mempengaruhi hasil belajar,
daya kosentrasi, dan emosi yang mungkin dapat mengarah pada penyerangan.
Perilaku yang akan uncul dapat menjadikan remaja egois, mengurung diri,
introvert dalam pergaulan, dan memiliki percaya diri yang rendah. Hal semacam
ini jika terjadio pada remaja tunagrahita maka akan membuat ia tidak mampu
berkembang , mandiri tanpa adanya campur tangan orng lain. Dengan demikian
dalam memperlakukan remaja tunagrahita perlu diperhatikan karakteristik
individu dan dengan pendekatan yang benar-benar dirasakan sesuai dengan
keinginan kedua belah pihak.
Standar-standar tinggi yang tidak
realistis dari orang tua yang tidak dapat dipenuhi ditambah dengan hukuman yang
sangat menyulitkan pada pertahanan diri. Bagi orang tua yang memiliki remaja tunagrahita
perlu membatasi diri dan berusaha untuk memahami keadaan remaja sehingga remaja
memahami bahwa orang tuanya masih memperhatikannya, masih menyayanginya. Dengan
demikian orang tua berusaha menjauhkan sikap angker, tidak bersahabat,
berperasaan dingin yang pada akhirnya membuat remaja tunagrahita merasa bahwa
dia masih diperhatikan oleh orang tua. Setiap hukuman yang diberikan diharapkan
akan membangun pengertian bahwa “orang tua menghukum adalah demi kebaikannya”
tidak menghukum dengan membabi buta tanpa memperdulikan hak-ahak anak
tunagrahita untuk membela diri atau memberikan alasan yang mungkin masih dapat
diterima.
Jika kebutuhan dan harapan-harapan
remaja tunagrahita semuanya dibatasi dan dikekang, akibatnya akan tumbuh rasa
kebencian dan kemarahan yang dapat merugikan orang lain yang berada
dilingkungannya. Sikap menarik diri dari pergaulan, dengan terman sebaya,
kurang percaya diri, sehingga jika dilihat sepintas seperttinya remaja tersebut
sebagai remaja pemalu. Remaja tunagrahita akan selalu dihantui rasa takut
memulai suatu pekerjaan karena takut gagal dan berbagai bayangan ancaman yang
akan diterimanya bila ia melakukan kegagalan dalam pekerjaan, takut dikritik,
dan akan menerima hukuman. Walupun sebenarnya dia mampu seperti remaja lainnya yang
memiliki kepercayaan diri yang besar.
Jadi seorang remaja dari lingkungan
otoriter akan mempunyai prasangka terhadap dirinya sendiri, introvert, lemah
dan banyak tergantung pada orang lain. Perasaan-perasaan diri ini kemungkinan
besar dipindahkan kepada orang lain sehingga tingkat-tingkat yang rendah dari
perasaan harga diri bagi orang lain.
Sebuah struktur keluarga yang otoriter
dapat membuat timbulnya perasaan tidak aman , infirioritas, perasaan-perasaan
seperti tidak berharga, karena otoritasnya sebagai remaja dipadamkan oleh
kekuasaan otoriter orang tua. Perasaan-perasaan tertekan seperti di atas akan
membuat suatu efek ketidak mampuan konsep diri seorang remaja tunagrahita tidak
mungkin akan terwujud.
Remaja yang berasal dari orang tua
otoriter mempunyai pengalaman-pengalaman yang lebih banyak bersama orang tua.
Dimana ia selalu mengalah atau berusaha menyesuaikan diri dengan menekan semua
kemauannya. Ia akan tumbuh sebagai remaja yang tidak memiliki kepercayaan diri
dan mudah terombang ambing dalam suatu situasi yang semestinya dia harus
berbuat dan memutuskan dengan bijaksana. Atau sikap tersebut akan berbalik
menjadi orang penyerang, tidak mudah mempercayai orang lain, dan tidak berani
berpendapat. Semua sikap tersebut bila tumbuh dan mempribadi bagi seorang
remaja tunagrahita akan berakibat merugikannya upaya kemandirian dalam
kehidupan bermasyarakat seperti layakanya masyarakat normal.
Beberapa ketegangan benar-benar
terjadi dari waktu ke waktu di antara kembanyakan remaja dan orang tua mereka,
karena remaja tersebut mencoba untuk tumbuh menjadi dewasa. Banyak dari remaja
mempergunakan pengalaman yang baru mereka tumukan dan mereka anggap baik. Pada
umumnya semua orang tua menginginkan remaja mampu memperlihatkan kematangan,
berpikir sehat dan kritis, mandiri dalam semua urusan. Kemampuan tersebut
berada dalam batas-batas kemampuan yang bisa diatasi sendiri. Namun sebaliknya
beberapa orang tua tidak bisa memahami dengan mudah terhadap apa yang sedang
berkembangan dan banyak di alami oleh remaja. Sehingga mereka berbuat dan
menciptakan kegiatan tersendiri sebagai suatu tantangan kehidupan yang sulit
dan belum bias dilakukan remaja.
Orang tua terlalu ketat mengekang
dapat menyebabkan seorang anak tunagrahita muda mencari kebebasan tersendiri
sesuai dengan kemampuannya. Kemungkinan yang lebih cenderung terjerumus pada
perbuatan kenakalan remaja, hasutan orang lain, dimanfaatkan orang lain untuk
kejahatan dan mungkin akan menggelandang akibat orng lain tidak memahaminya.
Kesulitan hubungan antar orang tua
dengan remaja akan menjadi bertambah bila remaja mendeteksi bahwa orang tualah
penyebab kegagalannya. Orang tua dianggap sebagai tidak mempunyai ketulusan dan
kejujuran dalam menerapkan peraturan-peraturan. Orang tua terlalu mengharapkan
terhadap suatu kemampuan yang tidak mungkin dicapai remajatunagrahita. Hal
demikian akan semakin mempersulit keberadaan remaja tunagrahita di tengah
rumah. Terlalu banyak peraturan dan kegiatan super ketat yang harus diikuti
remaja tunagrahita hingga membuat ia jenuh dan berontak.
Tidak semua apa yang diharapkan oleh
orang tua juga merupakan harapan bagi remaja. Khususnya bagi remaja tunagrahita
mereka masih sangast perlu bimbingan dan arahan yang sangat membutuhkan
perhatian orang lain. Sebab sebagai manusia yang mulai berkembang ke arah
pemikiran yang ingin menikmati hidup dengan jalannya sendiri maka ia cenderung
menganggap apa yang diingini orang lain tersebut mengekang kebebasannya dalam
bertindak dan berpikir.
Peraturan yang dibuat oleh orang tua
ditera sebagai peraturan sepihak dan tidak bermanfaat bagi dirinya dan akan
mengekang kebebasannya. Maka peraturan yang hendaknya diciptakan orang tua
hendaklah ditentukan atas dasar keinginan dan kemauan yang dapat ditoleransi
oleh remaja. Sehingga remaja yang mempunyai konflik dan persoalan yang tidak
mampu dipecahkannya akan dapat dijadikan sebagai suatu diskusi yang sangat
bernilai bagi remaja. Pada akhirnya antara orang tua dan remaja tunagrahita
dapat berjalan sesuai dengan keinginkan kedua belah pihak tanpa mengorbankan anak.
Beberapa situasi yang mungkin muncul
akibat terjadinya konflik antara remaja dan orang tua menurut Gunarsa (1990)
seperti berikut:
1. putus komunikasi, orang tua dan
remaja saling mendiamkan dengan perasaan tidak enak terhadap satu sama lain.
2. kedua pihak mengambil sikap
konfrontatif, perang mulut, saling menyakiti, membongkar permasalahan lama, dan
lain sebaginya.
3. remaja mengambil tindakan nekan
yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain.
4. menghukum diri sendiri dan
melepaskan pada diri sendiri (pelarian pada narkoba, ngebut di jalan, minuman
keras, pergaulan bebas dan sebagainya).
5. Menghukum orang tua dengan berbagai
cara agar orang tua menjadi kapok, misalnya kabur dari rumah.
Berdasarkan gambaran beberapa situasi
yang akan dapat muncul bagi remaja bila ia merasa tidak mendapatkan ketentraman
di rumah. Maka selayaknya orang tua berusaha memahaminya dan mengetahui
permasalah dengan objektif tanpa menyudutkan rfemaja. Sebagai orang tua kita
masih dapat mengajak remaja untuk berdiskusi dengan baik serta berusaha
mencarikan solusi terbaik bagi mereka . Dengan demikian remaja tunagrahita
memandang orang tua tidak sebagai polisi di rumah, yang siap menghukum dan
menghakimi bila mereka bersalah atau gagal pada suatu pekerjaan. Sebaliknya remaja
tunagrahita akan merasakan bahwa ia dibutuhkan dalam keluarga tanpa merasa
khawatir untuk membicarakan semua persoalan yang dihadapinya. Dengan demikian
ia mulai memiliki rasa percaya diri.
0 komentar:
Posting Komentar